Minggu, 08 Mei 2011

' Warna merah cinta '

Rini menemuiku dikampus, menagih janji waktu untuk berbicara dengannya. Aku mengajaknya ketaman depan kampus yang teduh dengan rerindangnya pepohonan. Tempat mahasiswa/i berteduh.
“Rin, kamu mau ngomong apa?” Tanyaku, yang berharap Rini akan menanyakan Leste.
“Rom, kumau tanya sekali lagi, tapi kamu jujur untuk menjawabnya.”
“Mau tanya apa Rin? Kalau aku bisa ya aku jawab...”
“Janji jujur ya...?” Rini memaksa.
“Oke.” Suaraku menutupi keraguan.
“Surat ini, kamu yang buat’kan?”
“Aduuh mati aku. Sudah terlanjur janji lagi...” Benakku.
“Lho, kok diam?”
“Rin, maaf. Leste sangat mengagumimu, mencintaimu, cinta mati Rin!”
“Aku tidak tanya itu? Yang aku tanya surat ini kamu yang buat? Itu saja...”
“Mmm, i..iya...”Jawabku terbata-bata.
“Aku diminta Leste Rin, aku Cuma membantu. Apa aku salah membantu niat baik seseorang. Palagi niat yang tulus.” Kataku membela diri dari desakan Rini.
“Salah!... Karena aku tidak mencintai Leste. Yang kuharap surat itu kamu yang buat, dan dari kamu untuk aku. Bukan dari Leste.”
“Maksudmu Rin?” Aku belum mengerti.
“Aku mencintaimu...”
“Hahh!...” Aku terperangah dengan apa yang aku dengar.
“Mungkin aku salah, membiarkan perasaan itu bertahta dihatiku. Yang selama ini kupendam, karena kutahu kamu sangat mencintai temanku Virelly. Tak ingin aku dianggap pagar makan tanamam. Makanya kubiarkan perasaan itu menusuk-nusuk tulangku. Terkadang sakit bila melihatmu bersama Virelly. Aku pernah mengutuk diriku yang tak tahu diri ini. Tapi perasaan itu tak pernah peduli. Yang akhirnya kumengerti perasaan itu tak pernah salah. Setelah kutahu, Virelly menyakitimu. Kuingin sebagai pengobat dukamu. Menutupi luka-luka yang masih menganga di raga dan batin cintamu.”
Aku hanya bisa diam. Tak mengerti dengan permainan cinta. Kenapa bisa seperti ini? Apakah ini karma atas perbuatan masalaluku. Kini disaat aku ingin membangun cinta yang kokoh, yang hakiki. Masih saja ada orang yang tersakiti, mengharapkan cintaku.
“Rom, kenapa kamu diam saja?”
“Rin, kamu tahu aku masih terluka. Aku belum ada pikiran untuk menggantikan Virelly dari ruang batinku. Lalu apa kata Leste kalau tahu aku bersamamu? Tidakkah aku dicap sebagai teman munafik dan pagar makan tanaman?” Kataku, untuk membuat Rini mengerti.
“Aku akan menunggumu Rom, aku yakin kalau kita bersama bisa menghapus lukamu. Tentang Leste, biar aku yang menyelesaikannya.”
“Rin, maafkan aku. Aku belum bisa berpikir.”
“Tidak perlu tergesa-gesa Rom, aku akan sabar menunggumu.”
“Tapi yang kamu tidak mengerti Rin, kalau dihatiku sudah ada Cindy. Haruskah aku berterus terang? Apakah tidak akan menyakitimu Rin?Lalu bagaimana aku menghadapi Leste?” Suara batinku.
Tak pelak pernyataan Rini menjadi beban dalam pikiranku. Sementara aku harus membantu Afsah. Aku sudah berjanji akan mengantar Afsah pulang saat Ibunya akan menikah dengan Juragan tembakau hari minggu. Rencananya Cindy akan ikut, karena hari libur. Sepertinya jalan keluar sudah buntu. Afsah harus menerima kenyataan. Menerima Juragan tembakau sebagai Ayah tirinya. Mbak Meisya tidak bisa membantu karena sedang sibuk shoting. Dan Intel, yang tidak lain Pamannya sendiri sedang mengejar penjahat kasus pembunuhan yang melarikan diri ke Sumatera. Tadinya aku berharap banyak dari Pamannya Mbak Meisya untuk membantu menyelidiki Juragan bangkotan dan kaki tangannya. Firasatku ada kemungkinan Juragan itu melakukan usaha ilegal yang melanggar hukum.”
Sampai didesa Sumber air, kami langsung menuju rumah Juragan Tasmuno. Afsah yang memberi petunjuk jalan. Cindy duduk disampingku. Aku memegang kemudi mobil BMW ungu terong Cindy. Didepan rumah yang mempunyai halaman yang luas, sudah ramai. Rupanya, hari pernikahan dilanjutkan dengan pesta. Ada panggung untuk acara wayang golek semalam suntuk. Semua mata memandang kami, ketika kami bertiga turun dari mobil. Mungkin mereka hanya mengenal Afsah. Kami terus melangkah seakan tak peduli dengan perasaan yang melihat kami. Mendekati tempat acara pernikahan akan dilangsungkan. Sebuah ruangan depan rumah yang besar seperti aula. Sudah banyak orang-orang yang duduk bersila mengelilingi disisi tembok ruangan.
“Ibu...” Suara Afsah mengejutkan semua yang hadir. Juga Ibunya yang terperangah mendengar suara anaknya. Padahal ijab kabul baru saja akan dimulai.
“Ibu hentikan Bu!.. Kenapa Ibu lakukan ini?!”
Ibu Afsah hanya bisa terkesima, diam seratus bahasa. Hanya airmata yang mewakili kesedihannya. Cindy sibuk dengan handycam mininya. Mengabadikan kejadian yang bersejarah. Dua orang lelaki memaksa membawa Afsah keluar. Afsah meronta. Melawan kekuatan dua lelaki berbadan kekar itu.
“Lepaskan! Lepaskan anakku...” Teriak Ibu Afsah.
“Aku tidak akan menikah tanpa disaksikan anakku!” Suara Ibu Afsah mengancam. Seorang lelaki perlente dengan perut gendut memberi isyarat kepada kedua lelaki itu. Dan melepaskan Afsah. Lelaki itu adalah Juragan Tasmuno.
“Ibu tidak boleh menikah dengan bandot tua jelek ini Bu...” setelah Afsah berada disebelah Ibunya. Dengan berani menuding muka Juragan Tasmuno.
“Heh, anak ingusan! Apa kamu mau membayar hutang Bapakmu? Apa kamu mau menggantikan Ibumu?” Juragan Tasmuno terkekeh. Matanya langsung melotot melihat daun muda yang masih hijau dan cantik seperti Afsah didepannya.
“Heh, Juragan licik! Bapakku tidak pernah punya hutang seperti yang kamu tuduhkan! Dasar bandot jelek!... Bandot penipu!?” Afsah dengan lantang melawan.
“Marmo, tunjukan surat perjanjian hutang Bapaknya...”
“Paman, Paman tega menyakiti kakak Paman sendiri. Seharusnya Paman melindungi kami. Melindungiku keponakanmu sebagai anak yatim. Malah Paman tega menjualku kepada Bandot bau tanah ini. Ingat Paman, karma akan berlaku buat Paman.” Afsah berang menatap orang yang dipanggilnya Paman yang duduk dibelakang Juragan Tasmuno. Pamannya membuka map berwarna biru dan menyerahkan kepada Juragan Tasmuno.
“ Kamu lihat!... Baca!...” Bentak juragan Tasmuno.
Afsah mengambilnya, dan merobek-robeknya.
“Puas!...” teriak Afsah.
“Anak haram! Anak jadah!...” Juragan Tasmuno berang. Tangan kanannya terangkat ingin menampar pipi Afsah yang masih suci.
“Tahan Juragan yang terhormat.” Aku buka suara. Sebelumnya aku hanya diam saja sama seperti yang lain terkesima.
“Siapa kamu anak muda? Lancang benar kamu menahanku.” Juragan Tasmuno tidak senang menatap dendam kearahku.
“Maaf bila aku lancang, aku hanya ingin membantu menyelesaikan masalah ini. Kalau masalahnya hanya hutang-piutang. Kenapa harus ada pemaksaan? Kenapa tidak bisa dengan kekeluargaan?”
“Kamu jangan ikut campur, Kamu tidak lihat, kalau aku menyelesaikan masalah hutang piutang ini dengan kekeluargaan! Buktinya si Maimun ibunya Afsah kuangkat menjadi keluarga besar Tasmuno, keluarga yang terpandang sekabupaten.”
“Sekali lagi maaf Tuan Tasmuno yang terhormat. Apa Tuan tidak melihat wajah-wajah mereka, apa juragan tidak punya hati nurani? Kebahagian bukan diukur dengan harta Juragan...”
“Diam kamu anak kemarin pagi! Kamu bisa apa untuk membantu mereka?” Juragan Tasmuno membentakku. Aku tak bergeming, tekadku harus menyelamatkan Afsari dan ibunya.
“Aku akan melunasi hutang keluarga Afsari.” Aku menjawab tantangannya.
“Hm, baik. Kamu harus bayar duakali lipat. Yang berarti harus membayar limabelas juta anak muda. Harus dibayar kontan hari ini juga!”
Tamak sekali bandot tua ini, seharusnya berpikir sudah bau tanah, dan banyak beramal bukan dengan menumpuk dosa. Batinku.
“Oke, Cin tolong ambilkan uang didalam mobil, ini kuncinya.” Aku melempar kunci kearah Cindy yang berdiri tidak jauh dariku. Cindy dengan sigap menangkapnya. Cindy berlalu dengan berlari kecil keluar ruangan.
Cindy sudah kembali berada dalam ruangan dengan menenteng amplop berwarna coklat. Cindy menyerahkannya kepadaku. Tanpa kubuka lagi kuserahkan kepada juragan Tasmuno. Karena sebelum berangkat aku mencairkan uang di Bank, pas lima belas juta.
Juragan Tasmuno membuka dan menghitung lembaran seratus ribu yang berjumlah seratus lima puluh lembar.
“Oke, kalian sudah bebas...”
Afsari langsung memelukku setelah mendengar kalimat dari juragan Tasmuno yang membebaskan dirinya dan ibunya. Wajahnya dibenamkan didadaku. Airmata kesedihan dan kebahagiaan bersatu merembes dari sudut-sudut matanya dan membasahi bajuku hingga menembus kekulit dadaku. Ibu Afsari memeluk kami dari samping. Tangan kanannya dipundakku, tangan kirinya dipundak Afsari. Aku terharu, merasakan kebahagiaan batin dapat menolong orang yang sangat membutuhkan pertolongan.
Kami langsung pulang mengantar Afsari dan ibunya. Jalan yang tidak mulus menyulitkan mobil untuk melaju dengan sempurna. Kiri kanan jalan pematang sawah yang mulai menghijau. Beberapa petani sibuk membersihkan sawah mereka dari rumput-rumput yang tumbuh liar diantara tanaman padi. Dalam perjalanan kami lebih banyak diam. Kulirik Cindy yang duduk disebelahku sedang asyik memandangi hamparan sawah yang luas, yang dibatasi oleh pegunungan.
“eHm’ aku mengganggunya.
“Kenapa kak?”
“Nggak, tenggorokan gatal.”
“Kak, kalau hidup di desa enak ya? sejuk, damai,dan tentram.”
“Nggak juga. Buktinya Afsari dan ibunya hidupnya tidak tentram.”
“Iya juga ya...” Cindy mengiyakan ucapanku.
“Hidup dimana saja sama Cin, tergantung bagaimana kitanya mensyukuri hidup. Menerima apa yang kita punya. Dan jangan selalu melihat keatas.”
“Maksud kakak gimana, aku tidak ngerti?”
“Maksud kakak realnya, kehidupan keluarga kamu sudah diatas, jangan mendongak keatas terus lihat yang dibawah, yang tidak mampu, orang miskin yang butuh pertolongan dari tangan-tangan kita yang diberi rejeki yang lebih. Paham maksud kakak?”
“Kalau itu paham, tapi apa tidak boleh orang melihat keatas sehingga punya keinginan, punya cita-cita untuk sukses. Kalau melihat kebawah terus nanti ada pohon didepan tidak tahu bisa kejedot dong, hahaha...” Cindy tertawa geli. Aku hanya mesem-mesem saja sambil terus menyetir. Analisis Cindy oke juga.
“Gini Cin, biar kamu tidak salah penafsiran. Yang kakak maksud. Kita harus menjaga hati, artinya mengukur kemampuan, jangan iri dengan kehidupan orang lain. Karena kalau kita melihat kehidupan orang lain seperti fata morgana. Aku melihat kamu, kamu enak menjadi anak orang kaya, semua serba ada. Tapi kenyataannya menurut kamu hidupmu hampa kurang perhatian dari orangtua. Kamu melihat kakak enak, jadi seniman, bebas, tapi aku bersyukur emang enak sih! Hahaha...” Giliran aku tertawa aku tidak mau bagian yang tidak enaknya.
“Haahh, giliran kakak gitu!... tidak mau yang tidak enaknya!” Cindy mencubit lenganku dengan manja. Aku memiringkan tubuh menghindar, tapi Cindy tak mau berhenti menyerangku.
“Sudah dong sayang, bisa masuk kesawah mobilmu...”
“Biarin...! Ketusnya dengan muka masam.
“Burung glatik kena darah bebek. Orang cantik marah jadi jelek!”
“Nggak lucu!”
“Siapa yang bilang lucu? Eh pipinya kenapa tuh!” Aku memegang hidungku dan bertanya kepada Cindy. Benar saja Cindy memegang hidungnya membuat aku tertawa geli. Perangkapku mengena.
“Emang sudah lama pipi kamu berubah jadi hidung?” Aku tertawa lagi. Cindy tertawa malu kemudian memukulku lagi.
“Ah, kakak... !” Cindy ikut tertawa.
“Itu baru lucu’kan, bisa membuat kamu tertawa?”
“Nggak!” Jawabnya ketus tapi Cindy menyandarkan kepalanya kepundakku. Kutahu matanya menatapku dari kaca depan dalam mobil. Aku santai saja membiarkan dia bermanja. Di belakang Afsari dan ibunya tertidur atau hanya memejamkan mata saja. Tidak mau melihat kami, karena Cindy sangat manja denganku.
Dari kaca spion kanan dari kejauhan dua motor tril berjalan zig zag bermain dengan jalan yang bergelombang, seperti sedang mengejar sesuatu atau sedang mengetes keahlian bermotor. Semakin lama semakin dekat dengan mobil yang kukemudikan, yang memang berjalan seperti kura-kura dijalan yang berlubang-lubang.
Tiba-tiba dua motor yang berboncengan itu menyalip dan berhenti di depan mobil. Terpaksa aku menginjak rem. Ternyata dua orang yang dibonceng adalah anak buah juragan Tasmuno yang waktu itu mau menyeret Afsari keluar ruangan.
“Cin, siap-siap alamat tidak beres nih!”
“Hati-hati kak...” Cindy terlihat kecut, sama sepertiku.
Empat orang berbadan kekar menghadang kami. Satu orang menghampiri dan mengetuk kaca pintu mobil disebelahku. Aku berusaha tenang dan membuka pintu mobil. Afsari dan ibunya terbangun. Mereka ketakutan.
“Kak, hati-hati...” Cindy mencemaskan diriku.
“Kamu di dalam saja.” Ku usap rambutnya sebelum keluar.
“Anak muda, aku tidak ada urusan dengan kalian. Kalau ingin wajahmu dan pacarmu yang bule itu tetap mulus, serahkan Afsari dan ibunya ikut dengan kami.”
“Kenapa begitu, bukankah aku sudah melunasinya duakali lipat?”
“Wakakak...” Mereka tertawa menjengkelkan.
“Tapi juragan kami menginginkan Afsari dan ibunya untuk menjadi dayang-dayang. Wakakak...” Mereka semua tertawa.
“Kalau aku tidak mengizinkan!” Belaku.
“Wakakak, cah bagus tidak baik melawan orang tua nanti kualat.”
“Orang tua harus menjadi contoh yang baik kalau ingin dihormati.” Jawabku.
“Kami ini orang-orang tua yang baik. Kami hanya ingin membuat Afsari dan ibunya hidup nyaman dan bahagia. Haahaa...” Mereka tertawa lagi.
“Tolonglah paman-paman yang terhormat, beri kami jalan. Kami sudah tidak ada urusan dengan juragan Tasmuno.”
“Sudahlah jangan banyak kompromi Genzo!” Salah satu dari mereka berteriak ditujukan kepada lelaki kekar yang ada dihadapanku.
“Bugh!...” Tiba-tiba bogem mentah menyodok perutku tanpa kuduga. Aku meringis.
“Kak...” Cindy berteriak dan turun dari mobil membekapku, melindungi agar lelaki yang dipanggil Genzo tidak memukulku lagi.
“Cin, kenapa kamu turun? Kamu diam didalam mobil saja, ini urusan lelaki.”
“Tidak Kak, aku ingin menolong kakak.”
“Kamu bisa apa? Sudah kamu didalam saja temani Afsari dan ibunya, kakak bisa mengatasinya.” Kataku meyakinkan Cindy.
Cindy menuruti kata-kataku, masuk kembali kedalam mobil. Tapi kepintu belakang bergabung dengan Afsari dan mbak maimun. Aku siap siaga antisipasi serangan berikutnya. Benar saja, Genzo memegang kerah bajuku. Pikirnya aku sudah jadi pencundang. Dengan sigap dan kecepatan, kucekal tangan kanannya dengan tangan kananku dan kupiting kebelakang, kutekan kebawah kemudian dengan hitungan detik kuangkat kaki kanannya lalu ku angsur tubuhnya yang tinggi besar ke saluran irigasi, hingga tubuhnya blepotan dengan lumpur. Itu salah satu jurus pencak silat yang aku dapatkan dari kakekku. Sekarang kurasakan manfaatnya. Dulu kakekku sering marah, karena aku selalu malas-malasan untuk latihan.
“Haahahaa...” Tiga rekannya menertawakan Genzo yang kelihatan hanya giginya. Seluruh tubuhnya terbungkus lumpur. Aku menahan tawa geli. Mereka serempak mendekatiku. Aku waspada. Salah satu yang berkepala plontos memberikan tendangan taekwodo. Ku Cuma menghindar. Sepertinya dia masih menjajagi ketangguhanku, menyerang dengan hati-hati. Takut bernasib sama dengan Genzo.
Aku mendapat serangan cukup merepotkan. Tangan kanan kirinya mencari sasaran kewajah dan tubuhku, sesekali tendangan berkelebat. Aku dapat mengatasi dengan menghindar dan menangkis. Kurasakan sulit untuk memberikan balasan.
Tiba-tiba,
“Bugh!” Sebuah tendangan mendarat diperutku. Membuatku terhuyung.
Aku menarik napas dengan menyedot udara sebanyak-banyaknya untuk memulihkan rasa sakit diperut. Si plontos kembali melancarkan serangannya. Kali ini aku tidak mau kecolongan, dengan kecepatan menangkis, menyerang dengan gerakan tendangan memutar aku berhasil, tendanganku mengenai tengkuknya. Membuatnya ambruk.
Dua orang lagi langsung mengeroyok. Dengan sigap kuladeni. Dengan tenaga yang semakin terkuras, aku kewalahan. Apalagi siplontos sudah bangkit kembali membantu mengeroyokku. Satu lawan tiga. Sesekali tendangan dan pukulan mereka menyusup ketubuhku. Dengan sekuat tenaga aku tak boleh menyerah. Lebih baik mati terhormat daripada jadi pecundang dan tidak punya hargadiri.
Aku benar-benar tersudut kelelahan. Tendangan siplontos keperutku membuat ku terhenyak dan ambruk. Aku tak berdaya, rasa nyeri dilambung membuatku tak mampu bangkit meski kupaksakan. Tamatlah riwayatku. Mereka memang bukan tandinganku. Jago-jago tua yang lebih banyak pengalaman.
Cindy kembali membantuku. Menghalangi mereka agar tak lagi menyerangku. Aku tak mampu berbuat apa-apa, seluruh persendianku terasa luruh. Mereka tertawa kemenangan melihatku tak berdaya.
“Makanya jangan sok jadi jagoan anak muda, sekarang kamu baru merasakan nikmatnya oleh-oleh dari desa sumber air, hekh!” Plontos masih mengejeku.
Dalam ketakberdayaanku, Cindy memapahku untuk berdiri. Tanganku dikalungkan kepundaknya. Saat ku mampu dengan susah payah berdiri, kumelihat sebuah mobil kijang kapsul melaju mendekati kami. Dan berhenti didekat kami.
Empat orang berjaket hitam turun dari mobil.
“Ada apa ini?!” Salah seorang dari mereka menyapa dengan suara tegas.
“Tolong pak mereka penjahat!” Cindy langsung berteriak. Walaupun kami belum tahu siapa sebenarnya empat orang bejaket itu. Namun harapanku dalam hati semoga mereka mau menolong.
“Jangan bergerak! diam semua ditempat! Kami polisi!” salah satunya mengeluarkan pistol.
“Mereka anak buah juragan Tasmuno pak, mereka ingin mencelakakan kami.” Cindy semakin semangat mengeluarkan suaranya setelah tahu mereka adalah aparat negara.
“Kebetulan kami sedang mencari rumah juragan Tasmuno.”
Polisi yang lebih tua mendekati kami. Mungkin beliau adalah komandannya.
“Siapa kalian dan ada urusan apa dengan mereka?”
“Saya Romanza pak dan ini Cindy. Ada dua orang lagi di dalam mobil ibu dan anak pak. Korban dari juragan tua itu.” Jelasku
“Kamu Romanza pengarang novel?”
“Betul pak... kok bapak tahu?”
“Tahu dari televisi. Putri bapak juga suka dengan novel kamu.”
“Terimakasih pak.” Ada kebanggaan dalam diriku.
“Bagaimana kamu bisa telibat dengan anak buah juragan Tasmuno?”
“Ceritanya panjang pak.”
Kemudian aku menceritakan dengan singkat dan mengambil poin-poinnya saja. Pak komandan mengerti dan manggut-manggut. Lalu yang lain diperintahkan menggelandang empat orang anak buah juragan Tasmuno untuk menunjukan rumah majikannya. Dua orang polisi masing-masing di boncengi anak buah Tasmuno. Dua orang lagi dimasukan kedalam mobil dengan tangan diborgol.
“Terimakasih atas keterangannya. Juragan Tasmuno memang terlibat bisnis penjualan gadis-gadis untuk dijadikan pekerja seks. Ada dua orang didalam mobil yang melapor sebagai korban.”
“Kami yang berterimakasih pak. Untung ada bapak datang tepat waktu. Kalau tidak, saya tidak tahu pak...”
“Oke, punya kartu nama? Sewaktu –waktu bisa dipanggil untuk memberikan keterangan lebih lanjut.”
“Ada pak. Kami siap membantu untuk memberikan keterangan kapan saja diperlukan pak.” Aku mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetku.
“Bagus, itu namanya warga negara yang baik. Membantu aparat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Kalian boleh melanjutkan perjalanan dan kami akan menangkap juragan Tasmuno.
“Terima kasih pak.” Sekali lagi kuucapkan terimaksih. Lalu kami berangkat melanjutkan perjalanan mengantar Afsari dan ibunya pulang kerumah. Cindy yang mengambil alih kemudi, karena Cindy tahu keadaan diriku. Aku merasa lega, rasa sakit sedikit berkurang dengan selesainya masalah yang membelit keluarga Afsari. Juragan Tasmuno akan berhadapan dengan hukum.

BERSAMBUNG...........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar