Trauma sang Playboy
Dikamar aku merasa BeTe, aku keluar kedepan. Ditaman, kududuk santai sambil mendengarkan musik dari Mp3 hpku. Kusandarkan kepalaku dibangku panjang. Akh, otakku terasa rileks, dengan lagu-lagu percintaan ala anak-anak band sekarang yang memang oke-oke. Gita mungkin sedang belajar. Biasanya kalau ada yang tidak dimengerti, Gita mencari aku. Atau kalau aku juga tidak mengerti, aku lempar lagi kepada Rini. Rini memang otaknya encer. Kalau sudah sama dia, pelajaran apa saja pasti beres.
Cinta memang sulit dimengerti. Apa yang kurang dengan Rini? Kecantikan, tidak bisa dibilang kalah dengan Virelly? Otaknya cerdas dan anak kepala desa dikampungnya. Rini dari Solo, tidak jauh dari kota Jogya. Kalau saja aku masih seperti dulu, masih dapat julukan play boy las ketok dari teman-teman. Karena sifatku yang selalu gonta-ganti pacar. Pasti Rini sudah menjadi mangsaku. Tapi setiap orang harus berubah. Perubahan yang lebih baik dari masa lalu. Dan Virelly telah mengingatkan aku. Acap kali aku terpesona dengan kecantikan gadis lain. Hatiku selalu teringat Virelly. Wajahnya dan keanggunannya selalu jadi benteng pertahanan cintaku. Walaupun seutuhnya Virelly belum menerima cintaku, namun bagiku dia adalah landasan terakhir tempat singgah pesawat tempurku. Aku harus yakin dan mendapatkannya.
Aku sedang asik mendengarkan lagu Avril Lavigne. Sedan warna ungu masuk kehalaman Rumah kos. Seorang gadis bercelana pendek ketat dan memakai baju bagian perutnya kelihatan. Ternyata Cindy. Mau apa dia kesini? Mungkin mau ketemu Gita, dia’kan teman sekelasnya.
“Kak Roman,... “ Cindy sudah melihatku dan berjalan kearahku.
“Kak, lagi santai ya?” katanya setelah duduk disampingku.
“Sedang mendengarkan lagu apa’sih?” Cindy menarik handfree yang menempel ditelingaku, dan memasang ketelinganya.
“O,. Pantes asyik banget!”
“Kamu mau ketemu Gita?” Tanyaku sambil bergeser karena Cindy dengan enak menyandarkan tubuhnya ketubuh ku.
“Hahh,..” jawabnya. Dia tidak mendengar pertanyaanku karena telinganya tersumbat handfree. Kutarik handfreenya dan kuulangi lagi pertanyaanku.
“Kamu mau ketemu Gita?”
“Nggak... “Jawabnya manja.
“Aku kesini mau menemui kak Romanza.”
Aku menghenyitkan alis.
“kak, temani aku jalan-jalan yuk...” Rengeknya sambil menarik tanganku.
“Kemana...?”
“Kemana saja yang penting keluar dulu dari sini..”
“Tidak salah kamu Cin?”
“Apanya yang salah? Sudahlah, ayoo..” Rengeknya memaksa.
Sebenarnya aku malas dan lelah setelah seharian bersama Virelly. Tapi karena tidak enak hati dengan penampilan Cindy yang centil dan manja. Sebelum anak-anak kos melihat aku berduaan, kuputuskan untuk pergi dengan Cindy. Kalau aku bilang tidak mau, belum tentu Cindy mau pulang.
“Kita mau kemana Cin?” Tanyaku setelah mobil melaju keluar dari rumah kos.
“Kita makan bakso di kedai bang Dul saja, kakak sudah pernah kesana belum?”
“Sudah, sewaktu mengantar Gita mencari buku di Matahari.”
“Oh,.. Emang kedai bang Dul tempat favorit kami. Seminggu bisa dua kali kami kesana.”
Cindy menghidupkan tape mobil, lagu yang keluar mengalun dengan lembut. Lagu dari Ungu judulnya cinta dalam hati.
“Kamu suka lagu Ungu?”
“Ya, aku suka musiknya. Slow.
Sambil menyetir mobil Cindy suka melirik ku. Ketika tertangkap basah, dia tersenyum-senyum saja. Manis, manja dan tomboy yang kutemukan dalam dirinya. Mungkin karena anak tunggal dan anak orang kaya yang selalu dimanja, membentuk kepribadiannya.
Selesai ngebakso, Cindy membawaku kerumahnya. Untuk yang kedua kalinya aku memasuki Rumah mewah ini. Pintu gerbangnya dijaga dua orang scurity.
“Cin, sepi sekali rumah kamu, Mama-Papamu sudah tidur?” Heranku dengan rumah mewah tapi tidak ada penghuninya.
“Gila kali jam segini sudah tidur...?”
“Mungkin saja Mama-Papamu sedang mencetak generasi baru, Concord duo...” Ledek ku sambil menghenyakan pantatku kemeubel yang empuk tanpa dipersilahkan.
“Kakak pikir aku ini pentium empat?”
“Kalau kamu pentium satu, agak lemot!”
“Enak saja bilang aku lemot. Gini-gini juga, aku tidak jauh dari rangking satu di kelasku.
“Percayaa....” Kataku membanggakannya.
Cindy menuangkan dua gelas air jeruk yang diambilnya dari kulkas.
“Beginilah situasi Rumahku. Papa keluar negeri. Mama sibuk dengan teman-temannya. Tidak tahu urusan apa?”
Cindy duduk di sebelahku.
“Kak, aku butuh kasih sayang. Bukan hanya materi. Aku tidak munafik, kalau manusia didunia ini sangat mengidolakan materi. Tapi kasih sayang tidak dapat dibeli dengan materi”
Cindy menyandarkan kepalanya kepundakku.
“Cin, Mama-Papa kamu itu sayang sama kamu.” Kataku sambil kubelai rambutnya, seperti kumembelai rambut adikku, disaat Azkya hatinya sedang gundah menghadapi masalah.
“Aku tau, kalau mereka sayang denganku. Tapi aku butuh perhatian, belaian bukan dimanjakan dengan materi?... Kak, aku merasa nyaman seperti ini. Ada kakak disampingku.” Cindy mendongakan wajahnya kewajahku. Kubelai sayang rambutnya tanpa aku berkata-kata.
“Aku ingin dibelai seperti ini oleh Papa atau Mama. Mereka semua sibuk dengan urusannya masing-masing.”
Cindy menatap wajahku, tangannya dikalungkan keleherku. Dia memberikan kecupan dipipiku bukan dikeningku.
“Cin, jangan kamu meratapi keadaanmu. Itu akan membuatmu jadi cengeng. Nasibmu sangat beruntung, masih ada kedua orang tua, diberi harta yang lebih. Coba kamu tengok orang-orang disana. Yang nasibnya kurang beruntung, penuh cobaan, orang tua sudah tidak ada, sanak family tidak ada. Tinggal di Panti asuhan. Ada yang cacat mental, cacat fisik. Tapi mereka tetap semangat dan tegar. Kasih sayang itu tidak selalu dengan belaian tangan yang lembut Cin? Bentuk kasih sayang itu macam-macam. Kalau bisa memilih, pasti mereka memilih jadi anak orang kaya. Keluarga kamu mendapat amanah harta yang lebih, cobalah kamu berbagi dengan mereka. Mereka sangat membutuhkan uluran tangan dan kasih sayang para dermawan.” Kuberikan wejangan dengan mencontohkan anak-anak di Panti asuhan. Agar Cindy mengerti, dan bersyukur dengan keadaannya sekarang.”
“Aku sangat kesepian kak, coba kakak bayangkan. Rumah sebesar ini, setiap hari aku sendiri. Cuma ada si Mimin pembantu yang centil.”
“Aku mengerti, merasakan kesepianmu. Tapi coba kamu isi kesepianmu dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Misalnya eskul disekolah. Atau kamu masuk teater saja. Aku rasa kesenian itu mengasikan. Dan banyak teman yang dapat mengusir kesepianmu. Kamu sudah punya pacar?” Tanyaku.
Cindy menggeleng.
“Kamu ya, yang pilih-pilih..? Ayo ngaku - ayo ngaku...” Suaraku seperti menirukan nada sms.
“Memang banyak, yang menginginkan aku jadi pacarnya. Tapi semua tidak tulus. Atau mereka kuanggap teman saja. Karena belum ada yang bisa membuatku bahagia dan bisa mententramkan jiwaku. Kak Roman, hanya kakak yang dapat membuat hatiku damai,kak. Seandainya aku bidadari yang kakak cari. Alangkah bahagianya hati ini. Tapi aku memang bukan bidadari? Aku sipungguk yang merindukan Bintang.” Cindy tertunduk.
“Cin, kakak ini bukan Pangeran. Tidak pantas mendapatkan bidadari seperti kamu. Masih banyak Pangeran-pangeran yang pantas untuk kamu, bukan aku.”
“Tidak kak, jiwaku yang memilih kakak bukan mata. Mata kadang tertipu. Tapi jiwa ini menuntun aku. Sejak pertama aku melihat kakak di sekolah, waktu kakak mengantar Gita. Aku merasakan debaran yang lain di jantungku. Kalau kakak tidak menerima cintaku lebih baik aku hancur.”
“Astaga, kenapa begitu cin?”
Cindy terdiam. Aku bingung harus bagaimana? Tidak mungkin aku menerima cinta Cindy. Hatiku sudah kuberikan untuk Virelly. Kalau aku katakan aku tidak mencintainya. Aku takut Cindy benar-benar membuktikan ucapannya. Seperti Nia, teman sekelasku. Diam-diam mencintaiku. Tapi Nia tidak pernah mengungkapkan. Mungkin malu karena dia seorang wanita. Dan adat ketimuran masih sangat kuat. Tidak pantas seorang perempuan mengutarakan cinta lebih dahulu. Aku menganggap Nia teman biasa saja seperti teman sekelas lainnya.
Aku baru tau, ketika aku dekat dengan Rusfita siswi kelas IIA2. O ya, waktu itu aku kelas IIA1. Nia menunjukan sikap yang berbeda denganku. Dan Rusfita pernah bilang kalau dia diancam Nia, tidak boleh mendekati aku.
Suatu hari, langsung aku bicarakan dengan Nia kenapa dia mengancam Rusfita? Dan Nia mengatakan kalau dia mencintai aku. Aku tidak bisa menerima cinta Nia seperti juga hatiku tidak bisa dipaksakan untuk Cindy, walaupun dia cantik dan anak orang kaya. Tapi aku harus bersikap bijaksana. Aku tidak mau peristiwa tragis yang menimpa Nia terjadi pada Cindy.
Setelah tau aku menolak cintanya. Nia jadi pemurung, pendiam dan jatuh sakit. Awalnya aku tak peduli, aku merasa itu bukan urusanku. Hatiku sedang bahagia bisa mendapatkan Rusfita. Untuk mendapatkan cintanya aku harus bersaing ketat dengan Donyuan lainnya. Maklum Rusfita siswi baru pindahan dari Bandung dan paling cantik disekolah. Setelah seminggu Nia tidak masuk kelas, teman-teman menjenguknya. Hanya aku yang tidak ikut. Aku lebih memilih pergi dengan Rusfita.
Ragil, Bram dan Bonang yang ikut kerumah Nia menyampaikan keadaan Nia. Katanya aku harus berbuat sesuatu, kasihan Nia. Keadaanya sangat mengenaskan, tidak mau makan. Dan selalu mengurung diri dikamar.
“ Hanya kamu, Dokter yang dapat menyembuhkan penyakit Nia” Kata Bram si muka ngantuk. Mereka sudah tau kalau Nia sakit karena aku. Mereka semua memaksa, aku harus menjenguk Nia.
“Kamu jangan egois Rom, kasihan Nia butuh sentuhan kasih sayangmu.” Celoteh Bonang, sok puitis.
“Bukan sentuhan kasih sayang, tapi sentuhan bibir..”Ragil menimpali. Mereka tertawa cekakakan.
“Tau sendiri Bibir si Romanza, sedotannya coy.. kayak sedotan Gajah. Rusfita saja yang bibirnya mungil sampai dowwer.” Ragil melanjutkan celotehannya. Mereka cekakak cekukuk mentertawakan aku.
“Coba kalau aku jadi Dokter cintanya Nia, sekali kusuntik pasti sembuh. Dan yang pastinya lagi, Nia minta disuntik duakali.” Guyon bonang membuat yang lain teriak
“Huuuu,... Dasar parno!” Tangan Ragil menjawil kepala Bonang. Bram juga ikutan menjawilnya.
Aku tidak tertarik dengan guyonan mereka. Aku sedang berpikir, kalau aku datang menjenguk Nia berarti aku harus menerima cintanya. Lalu bagaimana dengan Rusfita.
“Teman-teman,,, tolong bantu aku cari jalan keluarnya? Kalian tau, Aku tidak mencintai Nia.”
“Jalan keluarnya lewat pintu Bos, pintu depan atau belakang?” Ragil masih bercanda.
“Aku serius...”
“Begini saja Bos, untuk menyelamatkan Nia sementara, Bos pura-pura mencintai Nia. Nah, nanti kalau Nia sudah sembuh baru kita atur siasat lagi.” Ide Bonang yang ikut-ikutan memanggilku Bos.
“Lalu, bagaimana dengan Rusfita?” Tanyaku.
“Rusfita tidak perlu tau , kucing-kucingan saja. Seperti pemain baru saja Bos? Bos lebih pintar dan sudah pengalaman, ya nggak teman-teman?”
“Ide kamu bisa dicoba coy..” Kata Ragil kepada Bonang.
“Aku bingung. Kalau aku sudah jalan sama Nia, suatu saat aku putusin apa tidak lebih fatal?”
“Sekarang saja Nia sudah fatal... Yang penting sekarang! Urusan nanti, ya nanti kita pikirkan lagi. Mudah-mudahan, karena kita niatnya menolong nanti ada jalan keluanya?”
“Kamu enak ngomong Bon! Tapi aku yang ngejalanin...”
“Terserah kamu Rom... Tapi kalau terjadi apa-apa dengan Nia, apa kamu tega?”
Akhirnya kuputuskan untuk menjenguk Nia. Aku datang bersama Mira teman dekatnya Nia. Sampai dirumah Nia, Nia sudah dibawa kerumah sakit. Penyakit Nia semakin Parah.
Aku dan Mira menyusul kerumah sakit. Disana sudah ada orang tua Nia. Mira berpelukan dengan Mama Nia. Mama Nia kelihatan sedih sekali. Aku menyalami Papa Nia.
“Kamu yang bernama Roman?” Mama Nia bertanya kepadaku.
“Ya Tante.”
“Nia sering mengigau menyebut-nyebut nama kamu, apa kamu pacarnya?”
“E,i..Iya Tante.” Aku terpaksa mengaku pacar Nia, karena Mira mengerdipkan matanya kepadaku untuk mengatakan iya saja.
Seorang Dokter keluar dari ruangan.
“Bagaimana Anak saya Dokter?” Tanya mama Nia.
“Putri ibu hanya depresi saja. Perlu banyak istirahat. Apa ada yang bernama Romanza?”
“Ya Dokter. “ Aku menyahut.
“Nama kamu sering disebut-sebut Nia. Pasti kamu sangat istimewa untuk dia. Kalau kamu ada disampingnya sangat membantu untuk mempercepat kesembuhannya. Kamu boleh temui Nia. Bapak dan ibu tunggu diluar saja. Biar nak Roman memberi semangat.”
Aku masuk menemui Nia. Kondisinya sangat memperihatinkan. Kurus dan lemah tergolek ditempat tidur. Matanya terpejam. Bagaimanapun kerasnya hatiku, terenyuh juga melihatnya. Kududuk disampingnya dan kugenggam tangannya.
“Nia,... Nia.... Ini aku Romanza.” Sambil kuremas-remas tangannya. Kubisikan ketelinganya. Untuk menyadarkan tidur panjangnya.
“Kenapa cinta bisa begini, inikah yang disebut cinta itu buta? Nia kenapa kau korbankan dirimu demi cinta yang semu? Cinta yang belum kau ketahui makna dalam kehidupanmu. Begitu berartinyakah diriku untukmu? Toh masih ada Hendrik, Andre yang menginginkan cintamu.”Batinku berkaca-kaca. Sambil kupandangi wajah piasnya Nia.
Cinta memang sulit dikendalikan seperti kuda binal. Seperti aku yang memilih Rusfita, aku tidak tau.. Apakah aku memilih Rusfita karena dia memang cantik tapi hatinya, aku belum tau. Cinta memang selalu memandang indah dan menghanyutkan.
Cinta,....
Seperti air sungai mengalir kepelabuhan.
Seperti angin mendaki bukit.
Seperti ombak berenang ketepian...
Cinta,....
Menjadi Matahari yang membakar kulit Bumi.
Menjadi Bintang yang berkerlip dilangit.
Menjadi malam yang gelap dan sunyi.
Kelopak mata Nia bergerak-gerak. Perlahan terbuka. Tangannya semakin kugenggam erat.
“Nia.....”
“Romanza, kamu Romanza....” Suaranya pelan. Nia belum percaya kalau aku ada dihadapannya. Tangannya mulai membalas genggamanku.
“Nia kamu kenapa?”
“Tidak apa-apa Rom, aku benci pada diriku sendiri.”
“Kenapa?” Aku bertanya lagi.
“Aku tidak bisa melupakanmu. Aku ingin selalu bersamamu.”
Inilah kata-kata yang tak mampu aku jawab. Bagaimana aku bisa selalu bersama Nia kalau aku tidak mencintai dia? Klasik memang didengarnya cinta dan mencintai. Tapi itulah cinta, kadang memaksa dan tidak bisa dipaksa.
“Kamu harus cepat sembuh, jangan menyiksa diri kamu. Masa depanmu masih panjang Nia. Kasihan orang tua kamu yang punya harapan besar untuk anaknya.” Nasihatku seperti seorang guru.
“Aku mengerti Rom, tapi hati... Hatiku tidak bisa, berpaling darimu walaupun sekejap. Maafkan aku Rom...”
“sudahlah Nia, Aku akan mencoba untuk mencintaimu.” Akhirnya demi jiwa Nia, kukatakan cinta. Walaupun batinku menolak.
“Benarkah yang aku dengar Rom?”
Aku hanya mengangguk dan memberikan senyuman.
“Kamu janji?” Nia masih penasaran dengan kata-kataku.
“Aku janji... Kamu juga harus janji, kamu harus sembuh?”
“Aku sudah sembuh Rom... Aku bahagia sekali mendengarnya. Rom, izinkan aku untuk menciummu.”
“Nia tubuhmu masih lemas...”
Aku menatap wajah Nia. Dia tersenyum dan memejamkan mata. Aku mengerti yang dimaksud Nia. Kurundukan kepalaku, kukecup keningnya. Dan kukecup bibirnya yang kering.
“Nia, diluar ada Mama-Papamu, dan Mira. Mira sudah kangen dengan kamu. Aku panggil dulu ya?”
Tanpa menunggu jawaban aku melangkah keluar memberitahu Mama-Papa Nia. Aku dan Mira mengikuti dibelakang mama dan papa Nia yang merasa gembira mendengar Nia sudah sadar.
Hari terus berganti, setelah Nia sembuh dan kembali masuk sekolah. Akhirnya cinta segitiga dengan metode kucing-kucingan, aku jalani sesuai ide dari teman-teman. Aku bilang sama Nia, Kalau disekolah aku tak ingin teman-teman tau kalau aku dan dia sudah jadian. Aku juga bersiasat kepada Rusfita. Kukatakan kepada Rusfita, kalau aku dekat dengan Nia hanya sebatas teman saja. Dan untuk menjaga jangan sampai terjadi keributan aku dan Rusfita sepakat menjaga jarak bila sedang berada disekolah.
Waktu terus berlalu, bersama kisah cintaku yang semu dengan Nia. Sepandai-pandainya pejabat menyimpan hasil korupsi akhirnya terbongkar juga. Sepintar-pintarnya metode cinta segitigaku, akhirnya ketahuan juga.
Ketika aku keluar dari Mall dengan Rusfita dengan bergandengan tangan. Tak terduga, bertemu Nia dan Mira didepan Mall. Nia terkejut, tanpa berkata-kata lagi Nia berlari berbalik arah menjauhi kami bertiga. Aku berusaha mengejarnya. Sambil memanggil-manggil namanya. Tapi Nia tak peduli terus berlari kearah jalan raya. Sampai mataku terhalang oleh mobil-mobil angkutan yang sedang ngetem dipinggir jalan menunggu penumpang. Ketika kumendekati mobil yang sedang ngetem, kulihat banyak orang sedang bergerumut dipinggirr jalan. Alangkah terkejutnya, tatkala kumenyibak orang-orang yang bergerumut, ternyata Nia sudah tergeletak dengan darah menggenang dibawah kepalanya. Aku sangat panik, mengoyang-goyangkan tubuh Nia. Rusfita dan Mira datang. Mira berteriak histeris menyebut nama Nia dan memeluknya.
.Dalam perjalanan kerumah sakit, Nia menghembuskan nafasnya yang terakhir dipelukanku Nia jadi korban tabrak lari dan kepalanya terbentur trotoar. Nia tidak tertolong karena terlalu banyak mengeluarkan darah dari kepala. Sebelumnya Nia sempat sadar, dan ingin mengucapkan sesuatu padaku tapi suaranya tidak keluar. Sampai napasnya yang keluar dan pulang menghadap yang Maha Kuasa.
Kenapa kisah itu harus terulang lagi dengan Cindy? Aku trauma harus pura-pura mencintai Cindy. Tapi kalau aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku hanya mencintai Virelly, Apakah Cindy akan benar-benar hancur seperti ucapannya?
“Kak, kenapa diam saja?” Suara Cindy menghentakan bayang-bayang masa lalu dari pikiranku.
“Cin, cinta itu tidak seperti yang kamu bayangkan dan rasakan saat ini. Cinta itu seperti langit yang luruh menyentuh Bumi bila kita melihat dari kejauhan. Tapi disaat kita ingin menggapainya atau mendekatinya, langit itu menjauh dari Bumi. Nanti kalau kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti tentang cinta. Bukankah lebih kekal kalau aku ini jadi kakakmu saja. Cin?”
“Tidak kak, emang kakak belum pernah membaca untaian-untaian syair Khalil Gibran yang untaiannya begini kak, Apabila cinta itu datang maka ikutlah dia, walau jalannya berliku-liku dan apabila sayapnya merangkulmu pasrahlah dan menyerah, walau pedang yang tersembunyi disayap itu akan melukaimu. Terus ada juga yang begini kak,
Disaat cinta itu datang maka datanglah
Disaat cinta itu pergi maka segeralah
Disaat cinta itu masih ada maka bertahanlah
Biarkan rasa mengalir dengan adanya.
Kak, aku ingin cinta itu mengalir diperasaanku dengan adanya. Dan aku ingin sayap-sayap cinta kakak merangkulku. Disaat kakak datang disitu cintaku datang. Aku pasrah dan menyerah walau pedang disayap kakak melukaiku. Aku tak rela cinta itu pergi dan sayapnya tidak membawaku terbang. Dan aku akan bertahan dalam waktu sampai Roh berpisah dari jiwa.”
Diam-diam aku kagum, Cindy ternyata tau banyak tentang karangan Khalil Gibran dan pintar menyusun untaian-untaian kata yang dipetiknya dari syair Khalil Gibran. Aku semakin tak berdaya menghadapi cinta Cindy.
“Cin, untuk saat ini aku sedang fokus didunia ku, aku belum bisa membaginya untuk cinta.”
“Emang dunia kak Roman apa kak?” Tanyanya dengan manja tangannya memeluk leherku.
“Maksudku, aku sedang mengejar obsesiku untuk menjadi pengarang yang terkenal. Dan Ayahku menginginkan aku menjadi dokter. Aku harus memenuhi semuanya. Aku tidak ingin apabila suatu saat aku gagal, ayahku mencapku anak yang tidak sungguh-sungguh dalam belajar. Kerjaannya hanya pacaran. Aku tidak mau Cin, kuharap kamu bisa mengerti?” Sengaja kutiupkan kata-kata yang mengandung ironi, agar Cindy tidak memaksakan kehendak.
“Aku akan mendukung cita-cita kakak. Aku akan selalu menemani disaat kakak kesepian. Aku akan selalu menghibur disaat kakak resah. Dan aku akan selalu ada disamping kakak disaat kakak membutuhkan.”
Cindy memang pintar bermain kata-kata, walaupun dia manja dan masih kekanak-kanakan. Tapi ucapannya selalu bermakna. Mungkin keseringan membaca buku-buku Khalil Gibran. Cindy terobsesi ketulusan cinta. Kurangnya kasih sayang dari orang tuanya yang super sibuk. Membentuk dirinya mencari jatidiri cinta. Entah mengapa Cindy menemukannya pada diriku. Aku tidak bisa menyalahkan Cindy. Sama halnya aku ter-obsesi cinta Virellyanty. Sekalipun aku belum memahami kecantikan hatinya. Tapi jiwaku memintanya. Biarlah masa depan cintaku mengalir dengan adanya.
Cindy mengantarku pulang dengan mobilnya. Aku meminta turun didepan saja, jangan masuk kehalaman rumah kost. Tidak enak dengan penghuni kost yang lainnya. Apalagi kalau Gita melihat aku jalan sama Cindy. Sepertinya Gita tidak suka. Ketika aku ingin membuka pintu mobil untuk keluar, tanpa sepengetahuanku, Cindy menciumku. Katanya, “ Selamat istirahat ya... Dan kita bertemu diistana bintang untuk bercinta.” Romantis sekali. Aku tidak menjawab apa-apa? Hanya tersenyum dan melangkah keluar.
Hari-hariku, kurasakan penuh dengan gairah cinta. Bunga-bunga cantik mekar indah dalam pejaman mata. Harumnya selalu mengantarku tidur. Dan saat pagi datang, saat embun menggeliat terusik canda mentari pagi. Saat kubuka jendela kamar, hatiku selalu terusik. Bahagia, bila Virellypun ada disampingku. Menyambut pagi dengan peluk kehangatan. Dan menyapa hari dengan senyuman dan pagutan mesra.
Tapi bila hatiku telah menyentuh gadis manja dan cuek bebek, Cindy Stephani Gadis keturunan Indonesia-Ceko. Mamanya keturunan Cekoslowakia. Kabut resah mulai bergelut dinurani. Gundah menepis bayang-bayang sisi kelam masa laluku. Aku larut dalam ketakutan untuk menyambut masa depan. Aku takut kisah tragis terjadi pada Cindy. Disisi lain aku juga tak ingin Virelly pergi meninggalkanku. Seperti Rusfita, setelah kecelakaan menimpa Nia. Rusfita pergi dariku. Katanya aku telah menghianati cintanya. Lebih baik kita berteman saja. Sampai sekarang setelah lulus sekolah aku tidak pernah bertemu lagi dengan Rusfita. Kabar terakhir yang kudengar, Rusfita kembali ke Bandung dan kuliah di Universitas Padjajaran (UNPAD).
Tak mungkin aku menerima cinta Cindy, dengan darah yang berdesir memandang lekuk tubuhnya. Atau hanya untuk seonggok birahi yang suka dengan catatan hitam. Dan tak mungkin aku juga membiarkan Cindy jadi mangsa cerita kelam, dengan mengatakan aku tak bisa menerima cintanya. Walaupun aku baru mengenal Cindy, aku merasa sudah begitu dekat. Merasakan rasa sayang, seperti kumenyayangi adikku sendiri. Aku memang orang yang begitu cepat tersentuh perasaan. Biarlah semua kuketik sebagai kisah nyata dalam karangan Novelku. Daripada aku harus bergelut dengan gulana berkepanjangan dan tak bisa memutuskan apa-apa? Biarlah waktu yang memutuskan dengan bijaksana.
Virellyanty tak pernah menjawab ungkapan cintaku. Tapi dia juga tak pernah menolak bila kuajak pergi atau makan malam. Seperti minggu lalu, aku mengajak Virelly kepantai. Berkenalan dengan ombak yang menyapa. Bercengkrama dengan pasir putih yang basah. Bermain dengan angin laut yang manja dan mesra. Memandang panorama lembayung senja, Mentari yang tenggelam dengan sukacita. Dan bergandengan tangan merangkul cinta dipinggir pantai dengan kaki-kaki bercanda dengan pasir yang basah. Terkadang percikan ombak mengucapkan selamat bercinta dengan percikannya membasahi wajah kami berdua.
Kecupan-kecupan rindu yang membuatku semakin mantap mengalirkan air sungai cinta ke pelabuhan terakhir dermaga kasih sayang Virelly. Tiada detik yang terlewat tanpa menyentuh nama dan senyumnya yang merenda dipintu sanubari hati.
Aku merasakan Virelly membalas cintaku dengan ungkapan-ungkapan bahasa perilakunya. Walau secara lisan Virelly tak pernah mengungkapkannya. Bagiku itu sudah cukup untuk mengobati keresahan kangenku. Kuberharap suatu saat Virelly mengukuhkan cintaku dengan ungkapan dari mulutnya dan memelukku dalam sejarah pernikahan yang mengukir cinta abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar