Selasa, 15 Maret 2011

" story.."

Gadis manis di Stasiun
Ketika senja berakhir, gelap merambah menepi malam yang merangkak. Ada kegelisahan jiwa yang tersengat sepi. Jiwa yang bergelut malam, menggapai cahaya terangi sunyi. Semesta auramu adalah gemintang yang cantik.Tak mampu ninakan mimpiku, hingga fajar menyambut Mentari yang perkasa. Kau telah menjadi sinar kehangatan, ketika dingin embun menyongsong pagi. Seperti angin pagi yang tenang adalah hembusan nafas malaikat pengantar rahmat dari Tuhan. Dan wajah yang menyatu dalam mega pagi menggeliat ranum, diufuk timur. Wajahmu adalah tarikan nafasku dalam kabut kerinduan pesona yang tak pernah sirna.
“Virelly, ya Virelly.” Nama yang keluar dari bibir yang indah, yang membuat aku harus berada disini, di kota Gudeg. Sudah satu minggu aku menempati kamar kost, yang letaknya tidak terlalu jauh dari Malioboro. Tempat kost yang cukup bagus, bersih, dan oke. Struktur bangunannya seperti Wisma. Ada empat belas kamar. Dengan arsitektur, ruang tengah seperti pendopo, tapi tertata rapi. Ada meja dan kursi mebel yang empuk. Memang disediakan untuk tamu-tamu para penghuni kost. Karena itu adalah salah satu draf larangan bagi penghuni kost menerima tamu didalam kamarnya.
Bu Ratmini, nama pemilik kost.Tapi anak-anak kost memanggilnya Bu Min. Orangnya ramah dan wibawa, umurnya menurut fillingku hampir puluhan tidak lebih. Tapi masih wuaah, jujur saja Bu Min memang cantik. Penampilannya sederhana, tapi masih jelas benar kalau Bu Min adalah kembang kampus, kalau dia pernah kuliah dimasa mudanya. Atau kembang desa kalau Bu Min pernah tinggal di desa. Gurat kecantikannya masih kuat menarik pesona yang menatapnya.

Hari minggu.
Aku malas-malasan ditempat tidur. Jarum jam dinding menunjukan pukul delapan pagi. mataku menerawang kelangit-langit kamar yang putih. Ini misiku, misi mencari seorang gadis yang telah melumpuhkan akal sehatku. Gadis kemayu yang naik Kereta bisnis jurusan Yogya.
Waktu itu, aku baru saja tiba di Stasiun Gambir. Pulang berlibur dari Parangtritis Yogyakarta. Untuk menghilangkan penat dan bosan. Karena kami baru saja selesai ujian nasional. Dengan tiga orang temanku. Ragil simulut ember, karena kalau berbicara nyerocos seperti petasan pesta sunatan. Bonang situkang kibul, karena sering membohongi kami bertiga. Dan Bram simuka ngantuk, karena matanya yang siyep seperti orang ngantuk. Sebenarnya nama aslinya Ramli. Katanya biar keren dipanggil Bram. Padahal walaupun dipanggil Bram, tetap saja mukanya sepet seperti rujak babal.
Orang tuaku memberiku nama Romanza Feruzia Ramdani. Yang aku tahu, aku lahir dibulan Ramadhan. Panggilanku Roman, sesuai dengan namanya romantis dan roman wajah yang ganteng. Memang waktu di SMA, aku PeDe abis. Dengan bangga banyak siswi SMA yang ingin jadi pacarku.
Hobiku tulis-menulis puisi. Telah dibuktikan juara lomba menulis dan baca puisi disekolah. Kirim-kirim cerpen dan cerber dimajalah-majalah remaja. Dan selalu dimuat. Aku supel dan gagah. Pantang menyerah kalau sudah ada maunya. Apalagi yang kumau adalah cinta? Bila seorang gadis yang telah menyentuh rasa cintaku, dengan segala upaya aku harus meraihnya. Adalah suatu kebanggaan bila aku bisa menaklukan gadis itu, dalam kompetisi tidak resmi dengan siswa lain.
Baru kali ini aku merasakan mata pelangi menyusup keiga sanubariku, hingga aku merasakan keresahan yang indah. Disetiap saat, kemenemukan bayangan wajah gemulai. Ada kerinduan yang sangat. Semenjak aku kenal gadis bermata lembut, di Stasiun Gambir. Gadis yang lugu, rambut menjuntai melewati bahu, hampir menyentuh pinggul, ayu. Namun tatapan matanya yang indah seperti kehilangan makna, yang membuatku ingin tahu, ada apa dengan Virelly?
“Teman-teman, kalian jalan duluan ya! ... Aku mo pipis sebentar, tunggu aku didepan!” Ideku spontan waktu itu. Padahal aku penasaran mau mendekati gadis yang sedang berdiri seorang diri. Ketika kami melewati ruang antrian tiket.
Setelah mereka berlalu aku segera menghampiri gadis semampai seperti pohon palem hias, dengan sweater digapit diantara pinggang dan tangan kanannya.
“Hei, sendiri?” Sapaku setelah berada tepat didepan mukanya. Ia sedikit tersentak, tidak menyangka kalau ada orang asing tiba-tiba menyapanya. Ia menatapku dingin.
“Aku Roman, Romanza..” Kucoba mengenalkan namaku tampa diminta, sambil tanganku kujulurkan kedepannya. Ia tetap diam, hanya matanya yang menatapku dalam.
“Ooh, mata yamg indah, sejuk, begitu sempurna.”ceracau batinku.
Entah apa yang ada dibenaknya tentang diriku. Kubalas menatapnya. Ingin kutembus relung hatinya. Dan kubisikan ketulusan jiwaku untuk mengenalnya.
“Virelly,...” Suara yang lembut bersamaan tangan yang halus menyentuh telapak tanganku. Mungkin batinnya mengerti bahasa mataku yang tulus, sehingga Ia mau menyebutkan nama.
Belum sempat aku mengucapkan kata-kata, yang terpana dengan keanggunannya, seperti putri salju atau bidadari dari Bintang di Surga. Tiba-tiba seorang lelaki setegah tua menarik tangannya. Menjauh dariku yang terperangah menatap langkahnya. Dan akhirnya mereka berdua lenyap dari pandanganku, masuk kedalam kereta bisnis jurusan Yogyakarta.
“Hahh,Virelly...” Desahku sambil memiringkan badanku dan memeluk guling. Semakin malas untuk bangun dari tempat tidur.
”Dimana kamu bidadariku? Kamu tidak tahu, kalau aku berada disini hanya untukmu. Demi waktu, yang memaksaku harus menemukanmu. Hanya kamu yang dapat membunuh rasa gelisah yang menganiayaku. Ah, kenapa aku segila ini? inikah cinta?...” Gejolak batinku.
“Virelly, sedang bahagiakah kamu? Atau apakah kamu sedang lara? Bila hatimu sedang berduka? Aku datang bidadariku... Aku akan menghiburmu. Membasuh laramu agar kamu bisa tersenyum, senyum yang sempurna tanpa beban.” Pikiranku masih bergulir-gulir dalam bayangan yang hampa, tak mau pergi dari benakku.
Jam dinding sudah menunjukan pukul 9.15. Kupaksakan bangkit dari tempat tidur. Sebenarnya planningku hari ini mau jalan-jalan ke Candi Borobudur. Berdiri sejenak didepan kaca. Kutatap wajahku yang kusut dan rambut depan sebagian menutupi wajahku. Kusibak rambutku kebelakang dan jelas semua terlihat wajahku yang flamboyan. Kata orang wajahku mirip bintang film Superboy.
Ku raih handuk yang nyangkut dicapstok, semua persiapan mandi telah kubawa. Maklum disini kamar mandinya umum. Maksudnya untuk semua penghuni kost. Biasanya jam segini sudah sepi, tidak antri lagi, yang dimulai dari jam enam. Dan biasanya sampai jam delapan. Kamar mandi letaknya di sudut sebelah kiri kamarku. Ada empat kamar mandi untuk pria dan empat kamar mandi untuk wanita yang dibatasi dengan dinding.
Aku belum tahu berapa jumlah penghuni kost disini. Yang kutahu kamar untuk cowok ada delapan. Dan kamar untuk cewek ada enam. Dan satu kamar boleh diisi dua orang, tidak boleh lebih dari tiga orang. Bu Min tinggal dilantai atas. Aku belum kenal satu persatunya Penghuni disini. Paling ada beberapa yang aku kenal, itupun hanya wajahnya saja, belum tahu siapa-siapa namanya? Kalau ketemu pas berhadapan paling-paling senyum saja. Atau hey, hallo, bila ketemu penghuni kost wanita. Selama disini memang aku lebih banyak dikamar. Selalu bekutat didepan laptopku. Aku mencoba membuat cerita. Ingin menjadi seorang novelis. Seperti Habiburrahman Elshiradji yang sukses dengan novel pembangun jiwanya, AYAT-AYAT CINTA. Paling-paling kalau keluar cari makan atau main ke Malioboro, lihat-lihat keramaian yang menjajakan macam-macam sajian yang berselera. Dan menyaksikan musisi jalanan sedang beraksi.
“Huss hah,...” segar rasanya badanku kuguyur dari ujung kepala hingga kaki.
“byurr, byurr...” Terdengar suara seseorang yang sedang mandi dikamar mandi sebelah. Dan samar-samar suara seorang wanita, melantunkan tembang lagu Rasti. Yang judulnya Hanya coba-coba. Rupanya masih ada toh yang malas-malasan, seperi aku jam segini baru mandi.
Rasanya ada semangat baru setelah mandi. Dan aku sudah siap untuk berangkat ke Candi Borobudur yang termasyur itu. Celana jean belel, kaos tangan panjang warna kecoklat-coklatan dan tidak lupa topi sudah siap nempel diatas kepalaku. Topi sangat berguna untuk menutupi wajah dari tamparan cahaya Matahari. Rasanya belum lengkap kalau tidak membawa tas gamblok.
“Kak Roman!” Aku terperangah mendengar suara memanggil namaku, ketika kumelangkah keluar dari pintu depan. Kumenoleh kearah sumber suara. Ternyata yang empunya seorang wanita tidak jauh disebelah kananku, sedang merapikan pot-pot bunga. Memang dihalaman depan rumah kost banyak tanaman-tanaman bunga hias. Nyata sekali kalau pemilik rumah kost ini sangat menyukai bunga.
“Kak Romanza ‘kan?” Tanyanya lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri. Aku tidak lansung menjawab. Aku masih terheran, kok ada seorang gadis yang mengenal namaku dengan lengkap. Akhirnya ku anggukan kepalaku sambil tersenyum. Diapun tersenyum cerah memamerkan gigi-gigi putihnya ala pepsodent.
“Mau kemana, Rapih benar?”
“Mau jalan-jalan Mbak.”
“Ee...Jangan panggil Mbak dong, aku ‘kan lebih muda dari kamu, panggil saja Gita ya?” Pintanya sambil melangkah mendekatiku.
“Gita, putrinya Ibu kost.” Membahasakan dirinya dengan menyebut namanya mengganti kata aku, sambil menjulurkan tangannya setelah berhenti didepanku.
“O, Mulutku membentuk huruf o. Pantas kalau diamat-amati mirip sekali dengan Bu Min. Kujulurkan tanganku untuk bersentuhan dengan tangan yang halus dan lembut.
“Hmm, aku sudah seminggu disini tapi baru melihat kamu sekarang?” Tanyaku mengalihkan keterpakuanku.
“Gita sudah tiga hari disini, kakak saja yang tidak perhatian. Seminggu aku di Jakarta, dirumah Papa. Karena aku liburan sekolah selesai semester.”
“Jakartanya dimana Git?”
“Di Cengkareng, Perumahan Taman Citra Pelangi”
“Setahuku Taman Citra Pelangi di Kalideres, bukan di Cengkareng. Rumah Papa kamu di blok apa?”Aku jadi penasaran.
“O, Gita tahunya cengkareng saja tuh! Rumah Papa di blok A4 no.41.”
“O, ya?!”... Aku terperangah, ternyata tetangga dengan Rumahku. Maksudku Rumah orang tuaku, blok A4 no.43A. Aku kenal betul penghuni A4 no.41, Namanya Pak Brotowiryadi, istrinya masih sangat muda, sekitar dua tiga atau dua empatan. Namanya tante Yuni. Dan baru punya satu putra bernama Tomy. Mereka sangat baik dengan keluargaku. Biarlah kurasahasiakan saja. Aku tidak mau Gita tahu Rumahku bersebelahan dengan Rumah Papanya. Aku kemari sedang membawa misi rahasia. Rahasia hati.
“Emang kamu tahu Perumahan Taman Citra Pelangi? Selidiknya. Mungkin merasa heran dengan keterkejutanku.
“Ya tahu, aku punya teman disana, tapi lupa Bloknya.” Aku berbohong
“Maaf ya Git, nanti kita sambung lagi obrolan kita. Aku jalan dulu ya?”
“Hei Gita, lagi asyik ya?” Tiba-tiba ada yang nongol dari dalam rumah. Gadis manis berbaju ungu terong, berlengan pendek dan celana jeans dengan tas kecil disandangnya.
“Pasti cewek yang tadi mandi sambil bersenandung. Pantas suaranya cantik, cocoklah dengan orangya, yang manis.” Batinku mengagumi.
“Hei juga mbak Rini, mau jalan-jalan ya hari minggu?” Sepertinya Gita sudah cukup akrab dengan wanita yang dipanggilnya Mbak Rini.
“Sudah janjian dengan kak Roman, Mbak Rini?” Aku tersentak, Rini menatapku sekilas.
Kemudian.
“Ah, bisa saja kamu Git! Mbak Rini kenal juga belum?”
“Ya juga tidak apa-apa mbak, cocok deh. Yang satu cantik, yang satunya lagi ganteng.” Gita terus saja meledek.
Memang usia Gita lebih muda dari kami berdua. Dia seusia adikku, Azkya Shekha Ayu Permadani.
“Mbak Rini mau kemana?” Tanyaku, dari tadi aku diam saja mendengarkan celotehnya Gita. Aku jadi ikut-ikutan memanggil Mbak.
“O, ya. Aku Romanza.” Kujulurkan tanganku.
“Dwi Sasrini Sriwangsityasti. Panggil saja Rini.” Balasnya sambil tersenyum setelah tangannya menjabat tanganku.
“Pertanyaanku yang tadi belum kamu jawab?” Tanyaku ingin tahu tujuannya.
“Aduh, dilepasin dulu dong tangannya, jadi cemburu neeh!” Suara Gita menggoda. Tanpa kusadari tanganku masih menggenggam tangan Rini. Secepatnya kulepas genggamanku sambil kutersipu kecut.
“Mau ke Candi,” Jawabnya singkat.
“Kita satu tujuan, Boleh aku ikut bersamamu?”
“Lho kamu kan bukan anak kecil, jadi tidak perlu dituntun.” Guraunya sambil tersenyum renyah.
“Kalau tidak merepotkan? Maksudku biar ada teman ngobrol diperjalanan.” Belaku.
“Kan’ bisa ngobrol sama kernet atau sopir?” Candanya.
Aku tau dari nada dan raut wajahnya, kalau Rini hanya bercanda.
“Oke, jangan diambil hati ya?” Rini meralat kata-katanya. Mungkin untuk menghiburku yang sudah terlanjur masam.

Di Candi Borobudur.
Suasana cukup sejuk, angin semilir membelai kulit, Matahari tersenyum puas, karena dapat memberikan sinarnya untuk kelangsungan makhluk hidup dimuka Bumi ini. Langit diatas candi begitu cerah menambah kemegahan peninggalan kerajaan Majapahit . Dinasti Syailendra. Rini masih bersamaku, katanya sudah ada janji dengan temannya disini.
Selama dalam perjalanan Rini lebih banyak bercerita. Orangnya gaul cepat akrab. Didalam mobil aku dapat satu tempat duduk dengannya. Ternyata Rini mahasiswi Fakultas hukum. Katanya suatu saat ingin punya lawyer office sendiri.
“Kamu di Fakultas apa? Kok aku tidak pernah melihat kamu di kampus.” Tanyanya suatu ketika.
“Aku bukan Mahasiswa.”
“Kamu kerja? Kerja apa?” Tanyanya penuh selidik.
“Aku pengangguran.”
“Jangan bercanda Rom, tidak mungkinlah?”
Rini tidak percaya kalau aku memang benar-benar pengangguran.
“Aku memang punya cita-cita kuliah di UGM, tapi aku tidak lulus UMPTN. Jadi terpaksa tahun depan coba lagi. Dan aku kesini mau lihat-lihat suasana kota musisi ini, untuk mengenal lingkungan terlebih dahulu. Ya sambil cari inspirasi yang bisa aku tulis. Enam bulan lagi kalau aku lulus ujian dan diterima di UGM, aku sudah bisa ketemu kamu setiap hari di Kampus” Candaku menggoda
“Tidak perlu enam bulan lagi, kalau mau ketemu setiap hari, bisa. Wong kita tinggal satu atap. O ya, Kamu cari inspirasi apa untuk ditulis, bikin lagu?
“Menulis cerita,” Jawabku singkat.
“Cerita apa?”
“Cerita cinta yang disukai anak muda.”
“Emangnya kamu skenario, untuk film apa? Aku mau jadi bintang utamanya.”
“Hahaa,..” Aku tertawa
“Ketinggian kali?!... Aku Cuma belajar bikin cerita untuk dikirim kemajalah-majalah. Cerpen atau cerber. Syukur-syukur kalau bisa buat novel. Dan ada produser yang tertarik untuk dibuat layar lebar. Pasti aku usulkan kamu jadi bintang utama wanitanya. Dan bintang utama prianya aku, cocok kan?”
“Ya mudah-mudahan saja.” Jawabnya datar. Entah apa makna dalam hatinya. Karena aku sendiri belum yakin bisa sampai kesana.
Borobudur memang mengagumkan. Pantas banyak turis manca negara yang berkunjung. Aku sendiri tak bisa membedakan dari negara mana bule-bule itu berasal. Karena orang-orang Eropa mempunyai kulit yang sama. Di Asia hanya Australia yang berkulit bule karena nenek moyang mereka berasal dari Eropa. Ada juga turis-turis bermata sipit dan berkulit putih. Mungkin turis dari Jepang, Korea atau dari Cina.
“Hei, temanku sudah datang...” Rini menunjuk kearah pintu masuk candi. Mataku spontan mengikuti arah telunjuknya. Gadis semampai berambut pendek berkaca mata hitam. Semakin dekat melangkah, dadaku semakin berdegup gempita. Aku mengenali gadis itu.
“Virelly, hoh Virelly! Benarkah kamu itu?” Batinku tersentak bergemuruh.
Semakin mendekat semakin jelas.

Wajah yang selalu bercahaya dalam jiwaku
Wajah yang selalu menari-nari dalan tidurku
Dan wajah yang selalu ada disetiap denyut nadiku

Kaulah sekeping hati yang kucari
Untuk menemani sekeping hatiku
Dan ku ikat dengan ikatan cinta.

Batinku berpuisi.

“Tapi kenapa begitu cepat banyak perubahan dalam diri kamu?” Sebuah pertanyaan yang menyelinap di dalam hati.
“Hei, sudah lama ya?” Sapanya setelah mendekat.
Aku masih terpaku.
“Lumayan,” Jawab Rini
“Siapa ini, yang disamping kamu ‘kok tidak pernah cerita?”
Pertanyaan yang menghenyakkan alam sadarku.
“Oh ya, kenalkan teman satu rumah kost, tapi bukan teman satu kamar lho?” Rini memperkenalkan aku.
“Ranty,” Sebutnya. Setelah tanganya ku genggam. Ada getaran yang aneh menyalip dalam hati. “Ranty, kenapa bukan Virelly?”
“Heh, tidak punya nama ya?” Sentaknya, melihat aku masih termangu.
“Roman.” Jawabku datar.
“O, bukan Roman picisan ‘kan? Ledekya
“Hm, ma,maaf “ Aku tergagap.
“Mm, apa kamu kenal dengan Virelly? Tanyaku setelah menyedot udara sampai kedalam perutku. Sekilas ada perubahan dalam wajahnya, sebelum dapat mengendalikannya.
Dengan tenang dan sejuk suaranya.
“Aku tidak kenal dengan Virelly, Apakah dia saudaramu atau kekasihmu?” Virelly balik bertanya.
“Bukan, dia mirip dengan kamu. Seperti apel merah dibelah dua. Dan aku membutuhkan dia.”
“ O, ya... Membutuhkan untuk apa?”
“Membutuhkan sekeping hatinya, untuk sekeping hatiku.”
“Sudahlah Ranty, Kamu tidak akan mengerti kalau berbicara dengan seorang pujangga.” Rini nyeletuk.
“O, aku suka dengan pujangga, kata-katanya selalu indah dan mengandung arti.” Ucap Ranty.
Aku senang mendengarnya. Ada kesejukan didadaku, berarti aku masih ada kesempatan untuk mengetahui siapa Ranty?
“O ya Rom, maaf ya aku mau jalan-jalan dengan Rini, lain kali aku mau dengar lagi ucapan-ucapan seorang pujangga. Rininya aku pinjam dulu ya?.” Masih sempat Ranty meledekku.
“Oke gadis-gadis pengharum bumi.” Jawabku sekenanya.
Ranty dan Rini terus melangkah menaiki undak-berundak Candi. Aku hanya dapat memandangi langkahnya. Dalam hati aku tak diinginkan mereka. Sungguh malang nian diriku. Setelah lihat-lihat sebentar, akhirnya aku putuskan untuk cepat pulang. Saat ini hatiku tidak menikmati suasana kesejukan semilir angin bukit-bukit disekeliling candi. Semua terhalamg oleh kegusaran riak riak hati, oleh bayang-bayang Ranty dan Virelly. Lain kali saja aku akan menikmati keindahan candi ini.

Candi-candi cinta yang kokoh tertanam dipadang
Gersang jiwaku.
Desiran-desiran harum angin di bukit cinta
Porak-porandakan gelombang-gelombang detak jantung.

lirih saat kau pergi,
Jiwa yang kau tikam dengan mata belati tatapanmu
Membuncah pelangi-pelangi asmara benak yang terpukau pesona.

Senyum angin tegalan titip bayang rona diwajahmu
Menggamit gelisah,risau rindu dengan sejentik asa.

Riak-riak rindu sepi nadi kasih bersenandung sungkawa
Teriaki hari.....
Teriaki waktu.....
berpeluhku nafasmu
bernafasku cintamu
Ooh, Ku ingin hidupku berbalas kasihmu.

Puisi hati mengiringi langkah gontaiku.


Tiba didepan Rumah kost, terdengar ada suara keributan dari dalam. Ku urungkan langkahku untuk masuk. Suara seorang lelaki yang membentak-bentak dengan kasar.
“Dasar perempun jalang!... Perempuan lacur!... Ayo pulang?!”
Kudengar ada suara seorang lelaki yang membentak – bentak dengan kasar dan suara perempuan yang sedang menangis, dan teriak-teriak tidak mau pulang.
Tiba-tiba pintu depan terbuka, seorang lelaki dengan kasar menarik dan menyeret seorang perempuan dengan paksa keluar dari rumah.
“Ayo pulang perempuan lacur?!”
“Tidak mau, aku tidak mau pulang!” Sengitnya
Lelaki itu terus memaksanya, menarik tangannya seperti menarik kambing dengan tambang. Dan kambing melawan tidak mau jalan. Didalam kulihat ada Bu Min dan Gita yang terpaku tak bisa berbuat apa-apa. Yang lain tidak kulihat. Mumgkin masih diluar sedang menikmati liburan hari Minggu.
Ku merasa iba, kasihan melihat makhluk yang lemah. Yang seharusnya dikasihi, disayangi. Aku jadi teringat ibuku, Bagaimana kalau Ayahku menyakiti ibuku sepeti itu?
“Mas, mas sabar mas,” Aku menahan tangannya yang sedang menarik perempuan yang sudah jatuh terduduk dan merintih-rintih, memohon kepada lelaki itu. Kalau kudengar dari keributannya lelaki itu adalah suaminya. Tapi mendengar permohonan dan rintihannya, lelaki itu semakin kasar menendangnya dan memukulnya.
“Mas, sudah Mas kasihan..” ku ulangi ucapanku.
Lelaki itu menoleh kearahku dengan wajahnya yang merah dan garang. Badannya tegap berambut cepak dan berkulit gelap.
“Siapa kamu?!... Mau ikut campur urusanku!” Bentaknya.
“Maaf Mas, saya bukan mau ikut campur, tapi apa tidak bisa dengan baik-baik?
“Apa kamu bilang? Perempuan lacur seperti dia tidak perlu dikasihani!” Sambil tangannya menunjuk kearah perempuan yang sudah melas itu.
“Maksudku, masih ada cara lain Mas, bukan kasar seperti itu.”
“O, jadi kamu mau membela perempuan lacur ini?” Hardiknya.
Aku memang tidak tau permasalahan kedua orang itu. Yang aku tau, aku tidak tega dan tidak ingin ada orang yang menyiksa orang lain didepanku. Apalagi seorang wanita yang lemah. Yang perlu dilindungi.
“Jangan-jangan kamu yang membawa lari istriku..”
Aku terkejut mendengar perkataannya. Tapi aku berusaha tetap tenang.
“Mas, jangan salah paham. Aku hanya tidak bisa melihat oramg disiksa.”
“Kalau kamu tidak suka, kamu pergi saja?!”... Hardiknya kasar
“Maaf Mas, kamar kost saya disini. Saya juga berhak untuk tidak mendengar keributan disini.”
“O, jadi kamu menantang saya?” matanya melotot dan berkacak pinggang.
Tapi aku merasa ada keberanian menghadapi orang sepeti ini. Walaupun badan lelaki itu lebih besar, tapi dia sedang emosi. Aku jadi ingat perkataan guru karateku, dulu waktu masih di SMA.
Katanya “Menghadapi orang yang sedang emosi dan orang yang sedang mabuk itu lebih mudah, karena dia tidak bisa konsentrasi. Dan memukulnya membabi buta. Kita mudah menghindar atau menangkis dan bergerak memberi kuncian terakhir. Memiting tangannya kebelakang atau menjatuhkannya.”
“Maaf Mas, aku tidak berani menantang Mas. Mas ini menurut hukum sudah salah. Menyakiti orang lain sekalipun istri sendiri, ada undang-undangnya. Mas bisa masuk penjara. Dan Mas juga sudah melakukan kesalahan membuat onar dirumah orang, kalau Ibu kost tidak senang Mas bisa dilaporkan.”
Ucapanku seperti orang yang tau hukum. Padahal nemunya juga dari berita-berita disurat kabar. Banyak istri-istri yang melaporkan suaminya karena telah melakukan kekerasan rumah tangga. Memang tujuanku untuk menyadarkannya, agar dia sedikit takut mendengar kata penjara yang memang tempat yang setiap orang tidak mau memimpikannya.
“Kamu jangan mengajariku, anak ingusan!” Bengisnya belum juga reda.
“Ya, aku juga tidak senang kamu buat keributan disini! aku mau telpon polisi!” Tiba-tiba terdengar suara Bu Min. Yang sudah berada didekat perempuan yang dari tadi sedang menghiba dilantai.
Mendengar ucapan Bu Min, kuperhatikan wajah lelaki itu agak kecut juga.
“Jadi kamu tidak mau pulang ?!” Hardiknya sambil melotot kearah perempuan itu.
“ Sekarang kamu bebas, awas nanti!” Ancamnya.
“Kamu juga, awas kalau ketemu! Aku akan buat perhitungan...?!” Ancamnya yang ditujukan kepadaku sambil memandangku kejam dan ngeloyor pergi.
Kulihat Gita menghampiriku.
“Terima kasih kak Roman, untung ada kakak?”
“Terima kasih sama Ibu, ‘kan Ibu yang buat dia pergi.”aku menatap Ibu Min yang masih tampak lebih muda dari usianya.
“Kalau tidak ada kamu Rom, justru Ibu ketakutan. Sudahlah, ayo kita tolong nak Rasty, Gita kamu ambil air minum ya?” Perintah Ibunya.
Ternyata perempuan itu bernama Rasty, sama dengan nama artis sinetron yang merambah kedunia tarik suara itu. Tapi wajahnya lebih cantik.
Aku membantu Bu Min memapah Rasty dan mengantar kekamarnya, membaringkannya ditempat tidur. Sebelum aku pergi masih mendengar ucapan Bu Min.
“Sudah kamu istirahat dulu ya“ Kulihat Ibu Min menarikan selimut ketubuh Rasty. Dan Gita masuk membawa segelas air. Aku ngeloyor keluar dan tak tahu apa-apa lagi yang terjadi dikamar Rasty.
Dikamar kubaringkan tubuhku. Masih terbayang-bayang wajah-wajah melankolis. Virelly, Ranty, Juga Rasty.
“Rasty, Ranty. Nama yang mirip, wajahnya juga tidak jauh beda. Lalu siapa Virelly? Dan dimana dia? Apakah mereka tiga bersaudara. Terus siapa lelaki kasar yang berkulit legam itu? Kenapa bisa menjadi suaminya Rasty, yang berkulit putih bersih pualam? Sangat kontras seperti minyak dan air.” Pikiranku berputar-putar diatas langit-langit kamar yang putih dengan setumpuk pertanyaan. Hingga akhirnya kuterlelap dalam mimpi yang aneh-aneh.
Jam 17.30 aku terbangun dari tidurku. Sudah dua jam aku tertidur. Aku bangkit dari pembaringan dan berniat untuk mandi, rasanya badanku lengket-lengket bau keringat. Ketika aku menuju kamar mandi aku berpapasan dengan Gita. Dan dia bilang nanti malam mau ngobrol-ngobrol denganku. Aku anggukan saja kepalaku.
Selepas isya Gita mengetuk kamarku.
“Kak Roman bisa keluar tidak?” suaranya memanggilku.
“Ya, sebentar.” Sahutku. Aku sisir rambutku yang lurus panjang hampir sepundak. Selepas SMA sampai sekarang aku tidak pernah cukur rambut.
Di taman depan Rumah kost ada ayunan bangku panjang. Gita mengajakku duduk disana. Gita banyak bercerita tentang keluarganya. Dari masalah orang tuanya yang bercerai karena berlatar belakang perbedaan prinsip. Dan mempertahankan ego masing-masing, tidak mempertimbangkan anak yang jadi korban. Ayahnya telah menikah lagi dengan tante Yuni yang masih muda itu. Yang lebih pantas menjadi kakaknya Gita. Gita ikut Ibunya, tapi Ibunya tidak membatasi. Kalau Gita kangen dengan Papanya, diizinkan pergi ke Jakarta menginap disana. Biasanya setiap liburan sekolah Gita pasti kesana. Gita kelas dua SMA. Ibunya tidak menikah lagi katanya trauma dan ingin membesarkan dan membahagiakan Gita. Ibunya bilang kalau kawin lagi, takut suami barunya tidak sayang dengan anaknya.
Mungkin ada benarnya juga pemikiran Bu Min. Karena dijaman sekarang, banyak kejadian-kejadian bapak tiri yang menyiksa anak tirinya atau sebaliknya, ibu tiri menyiksa anak tirinya.
Pada kesempatan lain kutanyakan bagaimana keadaan Rasty. Karena dari tadi aku hanya jadi pendengar setianya.
“ Kasihan Rasty, nasibya seperti itu.” Gumamku.
“ Suaminya memang kejam, sudah beberapa kali dia memaksa Mbak Rasty untuk pulang, tapi Mbak Rasty tidak pernah mau. Dan tadi siang adalah puncak kekejamannya.” Cerita Gita.
“Apakah kamu tahu masalahannya, kenapa Rasty tidak mau diajak pulang oleh suaminya?” tanyaku.
“Mbak Rasty tidak mau cerita, dia hanya bilang tidak mencintainya. Dan menikah karena terpaksa.”
“Rasty kerja dimana dan kerja apa? Aku perhatikan dia kalau berangakat jam tiga sore?”
“Mbak Rasty kerja di caffe, dan kalau pulang sudah larut malam, selalu diantar oleh lelaki yang berbeda. Ibu pernah menegur tapi jawabnya teman atau keamanan caffe.”
Jam di hp ku sudah menunjukan pukul 21.10. ku lihat Rini baru pulang dan bertegur sapa dengan Gita.
“Pulang Mbak Rini?” Basa-basi Gita.
“Lagi santai ya? Mbak masuk dulu ya...”
Aku hanya tersenyum, kulihat Rini menatapku dan memberikan senyumnya yang manis. Entah apa arti senyum itu.
Malam beranjak bersama cerahnya wajah rembulan. Kerlip bintang gemintang dibalik awan putih. Cerianya langit malam ini. Angin pun berleha-leha sejuk bahagia. Sebahagia wajah gita yang duduk disampingku.
“Kak Roman... ‘Mm...”
“Apa Git? Tanyaku, karena gita tidak meneruskan ucapannya.
“Mm, tidak jadi deh.”
“Kenapa?” Tanyaku memanjakannya. Entah mengapa aku merasakan Gita seperti adikku sendiri.
“Tidak kenapa-kenapa, coba lihat kak bintang yang bercahaya kemerah-merahan.” Gita mengalihkan tema pembicaraan dan pandangannya pindah keatas langit. Tangannya menunjukan mataku untuk mengikuti arah telunjuknya.
“Itu bukan bintang manis, itu planet mars kalau kata ilmuan.”
Tanpa disadari Gita, kepalanya menyandar dipundaku. Aku hanya bisa membiarkan dan merasakan wangi parfumnya dicumbui angin malam.
Sebelum berpisah Gita bilang, kalau besok sore minta dianter ketoko buku di Matahari Departemen Store. Aku mengiyakan saja. Lagipula ada baiknya untuk aku, biar lebih mengenal kota Jogya. Siapa tahu aku bisa bertemu dengan Virelly.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar