cerber...
Menatap pelangi yang melingkar dilangit pagi, hari memang indah. Sehingga terciptalah syair indah lagu Pelangi-pelangi, sampai saat ini masih dinyanyikan anak-anak TK. Kuingin romansa hidupku indah seperti pelangi. Hidup yang berwarna-warni indah dengan cinta. Saat ini hanya Cindy gadis yang paling dekat denganku. Gadis yang selalu manja menyuguhkan cinta. Tak kuasa kini hati tuk mengingkari, kalau rasa sayang mulai tumbuh liar ditaman hati cinta. Seperti bunga berwarna kuning tumbuh diantara rerumputan liar. Meski dikegelapan malam, indahnya terpancar menjadi cahaya.
Sulit mengartikan cinta sejati. Aku sendiri tak mengerti. Mungkin hanya ada dalam cerita-cerita novel atau sinetron. Saat cinta itu tumbuh, cinta begitu di agungkan. Sepertinya, orang yang kita cintai adalah segalanya. Tapi saat cinta itu berpaling, dunia terasa gulita. Atau bagi para petualang cinta adalah permainan yang sangat mengasyikan. Tak peduli harus mengorbankan banyak perasaan. Dan menistakan arti cinta.
Kini dunia baru, menggapit kedua tangan dan kakiku. Kakiku untuk mengejar, tanganku untuk menggapai. Setelah pengadilan memvonis akulah Jay yang asli. Akulah pemegang lisensi yang sah. Aku tak menyangka novel TCTM laku keras dipasaran, hingga harus beberapa kali daur ulang pencetakan. Royalti dari Produser mengalir kerekeningku. Penggemar mengelu-elukan nama Jay. Beruntung belum banyak yang mengenal tampangku, karena memang aku hanya nongol di media electronik ketika launching perdana TCTM yang diakui Jay palsu dan ketika jalannya persidangan, yang ditampilkan infotainment. Aku selalu bersembunyi dari kejaran para wartawan. Kemana-mana aku harus pakai topi dan kacamata gelap. Seperti Nurdin M Top.
Alhamdulillah aku sudah memiliki motor Yamaha Scorpion Z. Untuk berangkat kekampus atau mengantar Gita kesekolah bila Bu Min ada halangan. O,ya. Aku masih ngekos ditempat Bu Min. Walaupun aku mampu untuk mencari rumah kos yang lebih bagus tidak serta merta aku harus pindah. Bagiku kamar kostku adalah sanggar inspirasi yang telah menghasilkan karya yang menakjubkan yang diterima banyak orang.
Sudah ada Produser yang negosiasi denganku untuk difilmkan. Tadinya Pak Swandy Umargono selaku wakil dari pihak Produser PT Mercusuwarna Bintang 8 Film, ingin mengangkat naskah Romansa Bercinta untuk difilmkan, tetapi karena cerita itu kuanggap belum rampung, maka TCTM yang akan diangkat lebih dahulu. Dan untuk Romansa Bercinta juga sudah diikat kontrak. Aku diminta untuk menjadi peran utama sebagai Mahadi Putra dalam TCTM yang mengejar cinta Selasih Untari seorang gadis desa yang sukses di Jakarta sebagai konsultan PT TRIGUANA ALAM RAYA. Tapi Untari tidak menganggap keberadaan Mahadi. Walaupun usianya sudah hampir kepala 3. Baginya karir adalah no.1. Kemiskinan dan penderitaan dikampung yang mencambuknya, semenjak ditinggal mati Ayahnya. Tanggung jawab sebagai anak pertama untuk membiayai ketiga adik-adiknya. Selasih Untari mencoba keberuntungannya ke Jakarta dengan dimulai bekerja menjadi Pramuniaga toko pakaian. Dengan kegigihannya berfikir untuk maju. Hingga karirnya semakin meningkat menjadi supervisor. Sambil kuliah malam, Untari ingin nasibnya terus berubah. Dan harapan itu telah terbukti dipercaya di PT. TRIGUANA.
Mahadi pengusaha muda toko pakaian tempat Utari bekerja dahulu, jatuh cinta kepadanya. Walaupun usia Mahadi beda dua tahun dengan Untari. Mahadi 26tahun, Untari 28tahun. Tidak menghalangi niat Mahadi untuk mencintai Untari. Mahadi berterus terang memintanya untuk menjadi pendampingnya. Tapi Untari menolaknya. Bukan dengan alasan tidak cinta. Karena tidak ada alasan tidak suka dengan Mahadi yang ganteng dan mempunyai banyak jaringan toko pakaian disetiap Mall dikota-kota besar. Tapi Mahadi tidak putus asa terus berjuang untuk menyunting Untari pujaan hatinya. Meskipun banyak liku-liku yang merintanginya dalam cerita Tarian Cinta Tugu Monas.
Aku menolak tawaran Pak Swandi Umargono. Bukan aku tak ingin menjadi lebih terkenal, tapi aku harus memikirkan Ayahku. Aku tak ingin beliau semakin membenciku kalau tahu aku main film. Apalah artinya kesuksesan tanpa restu Ayahku. Aku selalu berharap Ayah akan memaafkanku. Entah kapan...? itulah yang selalu membuatku sedih. Biarlah untuk saat ini aku bermain dibelakang layar. Semoga Azkya dapat membujuk Ayah untuk menerimaku kembali sebagai anaknya, sebagai darah dagingnya.
Aku merekomendasikan atas permintaan sutradara. Mbak Meisya, kurasa dia cocok sebagai Untari. Mbak Meisya cantik dan berwibawa. Mbak Meisya telah banyak menolongku. Dia sangat senang menerimanya dan sangat berterimakasih. Aku juga mengusulkan nama Cindy, agar dia mempunyai kesibukan tidak selalu kesepian dirumah yang besar. Aku jadi teringat Cindy. Semenjak pulang bareng dari Jakarta menumpang kereta bisnis. Cindy semakin dekat denganku. Cindy sudah menganggap aku ini adalah pangerannya. Kebanggaannya. Dan tempat curahan hatinya. Karena aku adalah orang yang paling dekat melebihi kedekatan dengan orang tuanya yang supersibuk. Mungkinkah aku jatuh cinta kepadanya? Menggantikan cinta Virelly...?
“Hai, apa kabar kawan?” Tiba-tiba Leste nongol kedalam kamarku yang sengaja tidak kututup. Karena siang ini udara kurasakan agak panas.
“Eh, pakabar? Mantap! Kemana saja kawan beta tidak pernah melihat dikau?” Jawabku menirukan logatnya. Memang seperti terlupakan, hampir sebulan aku ditempat kos tidak melihat Leste.
“Aku pulang kampung kawan, Bapakku sakit.“
“Bagaimana sekarang sudah sehat?” Tanyaku.
“Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bapak sudah sehat.”
“Syukurlah...” Kataku.
“Heh, sekarang kau sudah mantap! Jadi orang terkenal.”
“Maksud kamu apa kawan?
“Jangan pura-puralah?... Ternyata diam-diam dikau orang hebat! Aku melihatmu diTelevisi, ternyata dikau Jay pengarang berbakat yang sebentar lagi karyanya akan difilmkan.”
“Ah, kamu salah lihatlah kawan.” Aku pura-pura menutupi diriku.
“Ah, sudahlah jangan becanda terus. Bagaimana kawan kau ajaklah aku main dalam filmmu?”
“Aduh maaf kawan bukan aku yang berwenang. Aku sendiri tidak kebagian peran apa-apa...” Kataku menjelaskan.
“Eh, kawan. Bagaimana sudah disampaikan belum perasaanku sama Rini? Aku cinta mati sama dia.”
“Oww, maaf sobat. Maafkan aku, aku belum sampaikan. Kamu tahu sendiri aku baru saja ada Problem. Pasti nanti aku sampaikan.” Aku melihat ada roman wajah yang kecewa pada Leste.
“Kamu tidak mencoba untuk menyatakan perasaanmu langsung pada Rini?” Tanyaku.
“Aku tidak berani kawan, aku tidak Pe De.”
“Kalau kamu tidak berani, pakai surat saja.” Solusiku
“Itulah kawan aku tidak pintar tulis surat. Kau buatkan sajalah untuk aku ya?” Pinta Leste.
“Alakadalah... Nanti kalau Rini tahu bagaimana?”
“Kamu buatkan dulu kawan, nanti aku salin dengan tulisan tanganku. Ok. Kau bantulah aku. Ayahku di kampung sakit-sakitan, aku disuruh cepat menikah. Ayah mau melihatku bahagia sebelum meninggal katanya. Hatiku sudah mantap sama Rini. Kalau dia sudah siap, aku sudah siap untuk melamarnya. Tenang saja masalah makan, walaupun aku masih kuliah tapi harta orang tuaku lebih dari cukup. Aku ini anak tunggal kawan. Ayahku punya kebun pala yang luas. Ibuku sudah meninggal setahun yang lalu. Semenjak itu Ayahku jadi sakit-sakitan.” Leste menjelaskan tentang keluarganya. Astaga, ternyata Leste nasibya sama seperti aku ditinggal Ibu. Aku jadi teringat Ayahku, bagaimana keadaan Ayah setelah ditinggal Ibu? Semoga Ayah kuat dan sehat-sehat saja. Begitu juga dengan Adikku. Amin.
“Heh, jangan bengonglah kawan?” Leste mengagetkan lamunanku.
“Aku teringat Ayahku. Nasibku sama denganmu. Ibuku meninggal sebulan yang lalu...”
“Aku turut berbelasungkawa kawan, maaf aku tidak tahu.”
“Tidak apa-apa. Aku Cuma teringat Ayahku, kasihan beliau tidak ada yang mengurusi.” Aku khawatir nasibnya sama dengan Ayahnya Leste yang sakit-sakitan setelah ditinggal Ibunya.
“Ok. Kawan. Aku pamit dulu mau istirahat.”
“Ok deh, secepatnya aku usahakan menulis surat untuk Rini.”
“Terima kasih kawan.”
Leste pamit dan segera berlalu dari kamarku. Kututup pintu kamar, kuingin sejenak memejamkan mata mengobati mata dari kantuk. Dan badan yang terasa lelah. Menyapa mimpi, semoga pertanda hari yang lebih baik dalam cita dan cinta.
Shoting pertama film TCTM mengambil tempat didesa tepencil yang letaknya cukup jauh dari kota Yogya. Tempat asal mula perjalanan Selasih Untari seorang gadis desa, yang akan diperankan Mbak Meisya. Mbak Meisya minta tolong kepadaku untuk mengantarnya besok pagi. Besok hari minggu jadi tidak ada alasan bagiku memberi alasan untuk menolaknya. Meski Cindy nanti malam pasti telepon. Karena biasanya kalau hari libur dan hari besar, Cindy selalu ambil kesempatan untuk mengajakku kemana saja. Keliling kota Jogya.
Hari minggu pagi Mbak Meisya sudah siap-siap untuk berangkat. Membawa tas koper kecil berisi pakaian. Karena rencananya shoting bisa menghabiskan waktu kurang lebih satu bulan. Dan tinggal disana, sedangkan aku selesai mengantar Mbak Meisya bisa langsung pulang. Aku juga sudah siap, tinggal menunggu tanda dari Mbak Meisya, Mbak Meisya bilang oke, aku sudah siap tancap gas karena aku mengantar Mbak Meisya dengan siJagur motor kesayanganku, yang baru aku beli hasil royalti penjualan novelku.
Cindy semalam telepon. Aku jujur mengatakan kepada Cindy kalau hari ini akan mengantar Mbak Meisya kedesa terpencil tempat shoting. Aku sendiri lupa nama desanya. Tapi Cindy mengizinkan dengan catatan kecil. Katanya “Awas ya kalau kepincut Mbak Meisya?!...” Tapi aku menjawab hanya dengan tertawa saja. “Tidak mungkinlah.” Kataku meyakinkan Cindy. Kebetulan Cindy mau pergi dengan Papi-Maminya kerumah Tantenya yang sedang mengadakan acara pesta perkawinan. Kalau tidak Cindy akan ikut mengantar Mbak Meisya dengan mobilnya. Tapi acara keluarganya lebih penting. Cindy juga mengajaku ikut bersama orang tuanya ketempat Tantenya. Tapi aku sudah janji dengan Mbak Meisya lebih dulu. Akhirnya Cindy dapat mengerti.
Dalam perjalanan Mbak Meisya memeluk pinggangku. Memang jok motorku menjadi sempit karena tas bawaan Mbak Meisya aku ikat dibelakang. Jadi mau tidak mau, Mbak Meisya duduk sangat rapat memepet tubuhku. Dalam perjalanan tidak ada yang kami bicarakan. Karena kami menggunakan helm tutup sehingga kurang jelas mendengarkan perkataan lawan bicara.
Menjelang jam dua belas kami sudah sampai di desa yang sangat terpencil sebelah utara kota Yogya. Namanya desa Tegal Rumput. Para kru film dan pemain sudah berkumpul. Kelihatan ramai sekali dengan penduduk desa yang berkerumun, tua maupun muda, anak-anak maupun remaja yang menonton berdiri diluar batas yang diberi pembatas dengan tali rafia. Shoting rencananya akan dimulai esok, hari senin. Pak Umargono dan seorang wanita yang sangat modis menyambut kami.
“Selamat datang Jay, hei Non Selasih apa kabar?” Sapa Pak Swandi Umargono dengan memanggil Mbak Meisya dengan sebutan Selasih sebagai nama yang akan diperankannya. Pak Umargono sudah sangat mengenal Mbak Meisya karena sering ketemu waktu tes audisi.
“Kenalkan, Mbak Dara Berlian yang akan menyutradarai film ini.” Pak Umargono memperkenalkan wanita yang ada disampingnya. Aku tak menyangka ternyata seorang wanita yang cantik yang akan menyutradarai film TCTM. Terasa sangat elegant. Kupikir seorang artis yang ikut dalam film TCTM
“Mbak Dara.. ini Jay...” Pak Umargono juga menyebut namaku. Aku mengulurkan tanganku. Setelah menjabat tangan Pak Umargono.
“Senang sekali bertemu seorang penulis yang bertalenta.” Ucapnya.
“Jangan berlebihan Mbak, aku belum apa-apa...” Aku merendah.
“Sebenarnya aku filling, film ini akan semakin sukses seandainya kamu sebagai bintangnya.” Ucapan Mbak Dara.
“Maaf, Mbak aku belum bisa berakting. Aku perlu banyak belajar.”
“Ya, saya juga punya fill begitu Mbak Dara.” Pak Umargono menimpali.
“Tapi Jay punya alasan sendiri kita tidak bisa memaksa.” Pak Umargono melanjutkan kata-katanya.
“Maaf Pak Umar, Mbak Dara, aku rasa orang yang memerankan Mahadi lebih baik dariku. Mudah-mudahan film ini akan sukses.” Kataku. Sedangkan Mbak Meisya hanya diam saja mendengar obrolan kami.
“Oh ya, kita hanya berdiri disini saja. Ayo silahkan beristirahat dulu, pasti letih sehabis perjalanan jauh. Bukan begitu Jay? Pak Umargono mempersilahkan istirahat. Aku hanya mengiyakan saja. Dan mengangkat Tas koper kecil pakaian Mbak Meisya. Menuju Rumah bilik yang cukup besar tempat menampung peralatan shoting. Ada bale tapang yang terbuat dari bambu didepan rumah. Sebagian besar rumah di desa ini masih bilik. Tapi desanya masih sangat asri. Terletak dibalik bukit. Ada juga sebagian kru yang mendirikan tenda-tenda untuk tempat bermalam dan istirahat..
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Pak Umargono memaksaku untuk bermalam, malam ini. Katanya nanti malam akan ada acara selamatan memanjatkan doa. Agar shoting berjalan dengan lancar dan terhindar dari segala hal-hal yang tidak diinginkan. Sekaligus minta petunjuk kepada sesepuh wilayah ini, apa saja pantangannya agar tidak terjadi apa-apa dalam pelaksanaan pengambilan action besok pagi. Maklum, yang namanya didesa banyak sekali tahayul-tahayul yang dipercaya. Kadang memang kenyataan pabila dilanggar atau menantang tahayul tersebut dengan kesombongan.
Menjelang senja Mbak Meisya mengajakku kekaki bukit. Memang indah sekali menyaksikan lembayung senja. Panorama yang menakjubkan. Nampak cahaya Mentari sore menembus air terjun yang gemericik menyambut malam yang akan tiba. Udara cukup dingin menyelimuti pori-pori. Mbak Meisya berdiri disampingku.
“Jay, eh Rom... lihat kalelawar yang terbang disana seperti dekat sekali dengan Matahari senja.” Mbak Meisya memberitahu aku dengan menunjuk kearah beberapa kelelawar yang terbang terus menjauh seakan menggapai Matahari sore yang akan tenggelam. Indah sekali. Aku teringat Cindy. Seandainya dia ada disini, disampingku, pasti Cindy akan senang sekali. Tapi Cindy memang mendapat peran anak kota. Sehingga Cindy tidak perlu untuk ikut kesini, karena Cindy akan mendapatkan giliran pengambilan gambar di Jakarta. Mungkin Cindy sedang sibuk ditempat Tantenya hingga belum telepon. Biasanya sehari bisa lima kali Cindy telepon aku.
Tiba-tiba,
“Auww,.. hiiih... “ Mbak Meisya memelukku. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya takut.
“Kenapa Mbak?” Tanyaku sedikit panik.
“Hiiih... Lihat itu di daun.” Mbak Meisya hanya melirik tidak berani menoleh. Lalu, aku melihat kearah daun dan mencari-cari ada apa dengan daun?
“Hiii..h.” Ternyata ulat bulu berbulu kuning keemasan dengan kepala seperti manusia planet. Serem juga. Aku merinding.
“Aku juga takut Mbak. Ayo kita kembali saja!” Ajaku sambil melepaskan pelukan Mbak Meisya yang masih ketakutan. Dan membimbingnya melangkah meninggalkan panorama yang semakin indah saat-saat Mentari akan tenggelam di balik bukit. Panorama alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang membuat takjub dan mengingatkan kekuasaannya. Betapa makhluk manusia tak boleh sombong dimuka bumi ini. Sesungguhnya tiada yang pantas untuk disombongkan dihadapan Alloh. Hanya Allohlah yang berhak menyandang kesombongan.
Amanat Cinta
Kembalinya dari desa Tegal Rumput, aku harus memikirkan amanat dari Leste. Membuat surat cinta untuk Rini. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk membuat kata-kata. Biasanya malam hari lebih tenang dan lebih konsentrasi. Tidak ada salahnya membantu teman, mudah-mudahan Rini mau menerima cinta Leste.
Dalam perjalanan pulang, sambil tancap gas aku teringat Rini. Gadis manis teman dekat Virelly, Rini sangat care dengan musibah yang menimpaku. Sangat menyayangkan sikap Virelly yang tidak menerima cintaku. Kini, Rini akan diminta cintanya oleh Leste. “Semoga mereka bisa merajut benang asmara yang cantik. Tidak sepertiku.”
Seketika lamunanku pupus melihat seorang gadis dari jarak sekitar seratus meter. Seorang gadis belia yang melangkah hampa, tepat ditengah-tengah aspal. Berlawanan arah denganku. Dibelakangnya ada truk pengangkut sayur-sayuran. Beruntung sopir truk dapat mengendalikan mobilnya dengan mengerem perlahan. Suara plakson dibunyikan. Namun gadis itu seperti tak mendengar. Aku segera meminggirkan motorku, naluriku mengatakan harus berbuat sesuatu. Aku mencoba mengajaknya menepi kepinggir jalan. Tapi gadis itu tak menghiraukan. Dengan terpaksa aku memeluk pinggangnya, yang meronta dan memaksanya kepinggir jalan.
Dia memandangku.Air mata berurai. Kucoba untuk menenangkannya.
“Dik, kamu kenapa?” Kupanggil adik karena dia memang benar-benar belia. Perkiraanku 15 tahun usianya.
“Dik, kamu jangan takut, kalau kamu ada masalah, mudah-mudahan kakak bisa bantu kamu.” Aku berusaha mencari tahu, kenapa dengan gadis ini? Tapi dia tetap diam. Hanya kepedihan yang diperlihatkannya. “Bagaimana ini? Kalau aku tinggal pergi, berarti aku tidak punya kepedulian dengan orang yang membutuhkan pertolongan.” Batinku mengingatkan tentang kepedulian kepada sesama. Apalagi seorang gadis, bagaimana kalau dia adikku, Azkya. Diluar sana banyak setan-setan jahat yang mengintainya. Paling tidak aku harus mengantarnya pulang kepada orang tuanya. Tapi gimana aku tahu rumahnya? kalau dia tidak mau bicara.
“Begini saja, tidak enak berdiri dipinggir jalan. Bagaimana kalau aku antar kamu pulang?”
“Tidak! Aku tidak mau pulang!” tiba-tiba Ia buka suara setengah teriak.
“Emang kenapa?” Tanyaku penasaran dengan gadis ini.
“Aku tidak mau pulang! Kalau kamu mau pergi, pergi saja! Biarkan aku sendiri. Kenapa kamu peduli padaku...?” Suaranya sungguh lantang namun sorot matanya sungguh tidak demikian. Ada keputusasaan memancar dari tatapannya yang hampa.
“Dik, ya sudah kalau tidak mau pulang, aku tidak memaksa. Lebih baik kamu ikut aku saja.” Ku gandeng pundaknya dan mengajaknya mendekati siJagur motorku. Lalu, kustarter.
“Ayo dik naik.” Ajakku. Gadis itu diam sejenak tapi kemudian dia mau aku boncengin.
Sepertinya gadis ini belum makan, tidak ada salahnya kalau aku mencari tempat makan. Kebetulan hari sudah siang, aku juga perlu mengisi perut yang sudah bernyanyi. Dipinggir jalan ada rumah makan Padang yang cukup besar. Kuhentikan siJagur,parkir didepan rumah masakan Padang. Ku cari tempat duduk dipinggir jendela. Untuk menyongsong angin pengusir panas disiang ini.
Pelayan sudah menghidangkan semua menu makanannya dimeja. Macam-macam menu khas masakan Padang.
“Dik kita makan dulu ya? Ayo...” Ramah tamahku. Aku lebih dulu memulai makan. Kemudian dengan perlahan dia ikut makan. Lauk pauk masakan padang ini sungguh menggugah semangat makan. Apalagi sambalnya, pedas tapi nikmat. Kuperhatikan dia makan sangat lahap, aku merasa senang. Semoga selesai makan dia mau bercerita. Ini sungguh menarik. Ada bahan untuk dikupas tuntas, tas...
“Dik, ayo kita pulang.” Ajakku setelah selesai makan.
“Tidak, aku tidak mau pulang.”
“Maksudku, kita jalan lagi.”
Waktunya belum tepat aku mengorek informasi tentang dirinya. Lebih baik aku bawa ketempat kos. Nanti disana biar tidur bersama Gita. Dan Gita yang mengajak bicara. Mudah-mudahan sesama perempuan dia mau terbuka. Aku hanya ingin menolong gadis ini, tidak lebih. Kasihan dia, seperti putus asa. Pastinya ada masalah besar yang sedang dihadapinya.
Masih banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan. Ending novel Romansa Bercinta, janji untuk membuat surat pesanan Leste untuk Rini. Kini ada tema baru lagi untuk mengungkap misteri gadis yang aku temukan ditengah jalan yang kubawa kerumah kos. Sekarang sudah kutugaskan kepada Gita untuk menanyakan Problema gadis itu.
Yang kuutamakan harus membuat surat cinta, tidak enak dengan Leste. Cukup kesulitan aku mengungkapkan perasaan cinta kedalam sebuah surat, karena bukan aku sendiri yang merasakan. Beberapa lembar kertas aku robek. Karena aku merasa belum sesuai. Tapi demi amanat, aku harus segera menyelesaikannya sebelum Leste menanyakan lagi.
Aku membayangkan ketika pertama kali mengungkapkan perasaan cinta kepada Rusfita. Walaupun aku sudah menembak langsung, tapi ungkapan dengan surat terasa beda. Lebih menyentuh dan membuat hati berbunga-bunga. Ungkapan yang keluar dari mulut, ketika menghadapi gadis pujaan akan berbelok tidak sesuai dengan rencana. Sebaliknya dengan surat cinta, dengan bebas ekspresi jiwa akan keluar. Aku harus membayangkan seperti dulu. Seperti aku sendiri yang merasakan jatuh cinta. Sehingga kata-katanya pas untuk dibaca.
Teruntuk,
SasRINI sRiwangsiTyasti.
Waktu begulir seperti angin yang pergi. Waktu berlalu tak dapat kupungut. Namun ada satu yang tak pernah pergi, yang selalu singgah. Semakin kuat meresahkan, ketika waktu semakin jauh berlalu. Maafkan bila aku lancang dan tak sopan. Semua ini adalah kekuatan yang tulus, yang memaksa aku harus mengungkapkan. Aku tak sanggup mencegah gejolak yang setiap saat datang dengan congkaknya. Walaupun aku sangat sadar, tak pantas untukmu melakukan ini. Sekali lagi maafkan aku, aku tak sanggup teraniaya perasaan. Mungkin akan lebih baik bila langsung aku katakan... Aku mengagumimu, sejak kau hadir disini. Dirumah kos ini.
Bila kamu berkenan, aku ingin mengenalmu lebih jauh. Jauh menatap bintang yang penuh keindahan dan menata taman bunga yang harum mewangi sepanjang waktu. Rini,... Aku menunggu balasanmu.
Wassalam,
Yang mengagumimu
. Lestelahuaya Latul
Kurasa cukup sederhana, singkat, padat dan berisi. Yang terpenting aku sudah membayar hutangku atas amanat Leste untuk membantunya. Mengenai diterima atau tidaknya itu sudah urusan mereka. Malam ini kuingin tidur nyenyak, membentang mimpi, merajut manis cinta. Mengecup harumnya, indah sepanjang masa. Kuingin cinta menyegarkan sendi-sendi tubuhku ketika kubangun pagi. Dan cerahnya berbinar menjadi Matahariku.
Fajar disambut kokok ayam jantan. Suara adzan saling bergema dari sudut-sudut kota Jogya. Membangunkan tidurku. Sholat lebih baik daripada tidur, seruan untuk orang-orang yang menganut ajaran nabi Muhammad. Yaitu agama Islam. Ajaran yang mendidik untuk membiasakan bangun pagi. Karena pintu rezeki telah dibuka bertebaran dimuka bumi. Sekian lama aku alpa menjalankan kewajiban, rentetan kejadian demi kejadian sedikit demi sedikit telah mengugah kesadaranku. Aku harus kembali mengingat keagungan Tuhan. Harus menjalankan perintah yang diwajibkannya. Yaitu sholat lima waktu. Kalau mengaku sebagai umat nabi Muhamad SAW.
Kulangkahkan kaki keluar dari rumah kos menuju Mushola yang tidak jauh dari rumah kos. Sajadah berselendang dipundak, peci haji putih bertahta dikepalaku, baju koko kembang-kembang didada dan sarung Atlas membungkus tubuhku. Aku merasakan selisih sedikit dengan Ustadz Jefri Albukhori. Wewangian harum bunga zaitun menabur fajar. Serasa damai dijiwa, dipetik raga, enteng untuk melangkah kejalan kebenaran. Hidup adalah hakekatnya mati. Sebelum kematian mengintip diujung bibir menghembuskan nafas terakhir. Tabungan amal adalah teman yang menerangi dialam barzah. Aku ingat wejangan seorang ustadz yang mumpuni dikampungku dulu. Seseorang yang mempunyai tabungan amal kebajikan didunia, dialam kubur nanti merasakan seperti tidurnya pengantin baru menunggu hari kebangkitan datang. Aku sendiri baru akan merasakan nanti kalau aku sudah menikah dan menjadi pengantin. Seperti apa rasanya tidur pengantin baru?
Dalam sujud diakhir rakaat sholat subuh, aku ingat Ayah dan Adikku Azkya. Aku berdo,a dalam hati memohon perlindungannya untuk menjaga Ayah dan adikku dari rasa sakit dan semoga Beliau sabar dengan cobaan ini dan adikku selalu tabah menghadapi kenyataan ini. Beberapa kali Azkya telepon semenjak aku meninggalkannya, mengabarkan kalau dia baik-baik saja. Tapi Azkya mengatakan kalau Ayah belum memaafkanku, Ayah masih membenciku, menganggap aku yang membawa bencana ini semua. Hingga Ibu meninggal. Aku hanya dapat berdoa disetiap selesai sholat lima waktuku. Agar Ayah dibuka pintu hatinya dan memaafkan segala kesalahanku. Bila aku ingat itu semua, airmata belinang. Perih menatap hidupku. Apakah kesalahan dan dosaku sudah tak terampuni? Hingga kata maaf seorang Ayah kepada darah dagingnya tak pernah kunjung tiba? Adalah kebahagiaan yang paling besar dari semua hasil karyaku adalah pintu maafmu Ayah. Yang selalu kutunggu.
Pagi sebelum berangkat kesekolah Gita menemuiku.Seragam putih abu-abu sudah dikenakannya.
“Kak Roman, Afsah semalam sudah mau cerita.”
“Oh, jadi gadis itu bernama Afsah?” Tanyaku.
“Ya, lengkapnya Siti Afsari maimun.”
“Bagus juga namanya...”Kataku.
“Pemberian almarhum Bapaknya, katanya.”Jawab Gita.
“Jadi Afsah anak yatim, kasihan dia. Terus masalahnya apa sehingga dia putus asa seperti itu?”
“Ceritanya panjang kak, tapi aku singkat saja ya intinya?”
“Ok, lagian kamu mau berangkat kesekolah.”
“Ya kak, Afsah dipaksa Pamannya...”
“Dipaksa untuk apa?” Aku menyela.
“Pamannya ingin menjual kesuciannya, bahasa ekstrimnya keperawanannya.”
“Subhanalloh, jaman sudah terlalu tua, sehingga ada seorang paman yang begitu tega mengorbankan keponakannya. Lalu, Ibunya bagaimana?”
“Ibunya tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bilang, “Ayahnya meninggalkan hutang kepada Juragan tembakau sekitar tujuh jutaan. Untuk membayar hutang itu, Juragan tembakau menginginkan keperawanannya, dihargai lima juta. Masih hutang dua juta lagi. Setelah itu dia mau diajak Pamannya ke Jakarta, bekerja ditempat hiburan malam.” Sangat pedih mendengar cerita Gita tentang kekejian seorang Paman. Aku harus membantu Afsah.
“Kak, anter Gita kesekolah ya, mau ‘kan? Nanti juga ketemu Cindy disekolah.” Gita menyebut nama Cindy, mungkin dia sudah tahu kalau aku sekarang-sekarang ini dekat dengan Cindy.
“Oh ya, sekarang Afsah dimana?”
“Di atas sama Ibu, Ibu juga perihatin dengan kejadian yang menimpa Afsah.”
“Ya sudah, oke. Mau berangkat tidak?”
“Mau dong! Sebentar ambil tas N pamit dengan Mother, kakak tunggu didepan ya?” Gita berlari menaiki anak tangga untuk mengambil tasnya. Aku kedepan memanaskan siJagur. Kesayanganku.
Benar saja dihalaman sekolahnya, Cindy sedang ngerumpi dengan teman-temannya. Ketika mendengar suara motorku mereka menoleh. Dan Cindy menghampiriku.
“Duh Pangeranku, kamu ganteng amat pagi ini...” Pujian Cindy. Gita hanya senyum-senyum saja seperti dipaksakan.
“Pakabar Cin?”
“Seperti Pangeranku lihat, Putri baik-baik saja.”
“Ok, selamat belajar ya... belajar yang serius biar jadi anak pintar.” Selorohku setengah becanda.
“Pasti dong! Sekarang’kan sudah ada orang yang membuatku semangat dalam segala hal.”
“Ok... aku pulang ya?” Pintaku.
“Kak...” Cindy memanyunkan mulutnya. Seolah minta disun.
“Iiih... neh sama moncong siJagur mau?” Kataku.
“Hehehe... “ Lalu cindy tersenyum. Kuputar balik siJagur untuk kembali pulang.
Dirumah kos aku mengajak Afsah keruang tamu.
“Afsah, namaku Roman, panggil saja kak Roman.” Aku mengenalkan diri.
“Aku sudah tahu permasalahmu dari Gita.”
“Jadi kalau kakak sudah tahu tentang aku, kakak mau mengusirku?”
“Bukan begitu maksudku Af! Aku ingin membantumu, kalau aku bisa...”
“Pamanku sangat keras dan sadis. Kalau dia dapat menemukanku karena aku kabur dari rumah, paman akan membunuhku.”
“Sebegitu kejamkah Pamanmu?”
“Ya, bahkan Paman pernah masuk penjara gara-gara menganiaya tetangganya, hanya karena anaknya berkelahi dengan anak tetangganya.
“Oh ya, bagaimana kamu bisa tahu kalau kamu mau dijual oleh Paman kamu?” aku ingin tahu lebih jelas dari mulut Afsah sendiri.
“Waktu itu, Paman datang menemui Ibu. Aku sedang bersama Ibu diruang depan.” Afsah bercerita.
“Secara terus terang Paman menagih hutang yang katanya hutang Ayah kepada Juragan Tasmuno Gasik, Juragan tembakau dari kampung sebelah. Paman adalah kaki tangannya. Pamanku tahu, tidak mungkin Ibu dapat membayar hutang itu. Sekalipun Ibu tidak pernah tahu kalau Bapak punya hutang sebesar itu. Yang mengejutkan aku, Paman menawarkan kegadisanku untuk Juragan bangkotan yang sudah punya istri enam orang. Kalau aku tidak mau, rumah peninggalan Bapak akan disita. Aku dan Ibu hanya dapat menangis. Ibu minta waktu untuk memikirkan jalan keluarnya. Paman juga menawarkan setelah aku menyerahkan kehormatanku, Paman akan membawaku ke Jakarta untuk bekerja di tempat hiburan malam untuk mencicil sisa hutang, dua juta lagi.” Afsah menghentikan ceritanya. Airmata menetes.
“Keterlaluan! Bukan manusia tapi Binatang!” Umpatku geram.
“Malam hari Ibu menyuruhku pergi. Tapi aku menolak, aku tak ingin Ibu celaka dianiaya anak buah Juragan Bangkotan. Ibu memaksa mengusirku. Ibu mengancam kalau aku tidak pergi, Ibu tidak mau menganggapku anak lagi. Aku tahu, Ibu sangat menyayangi aku anak satu-satunya. Hingga Ibu tak ingin masa depanku hancur. Sekarang aku tidak tahu keadaan Ibu. Sudah dua hari aku pergi dari rumah. Aku berterimakasih bertemu kakak.”
“Berterimakasih dan berdoalah kepada Tuhan, semoga Ibumu dilindungi.”
“Iya kak,” Isaknya.
“Apa kamu bisa mengantarku menemui Ibumu dan Pamanmu?”
“Aku takut kak...”
“...’Kan ada kakak.”
“Lebih baik jangan kak, nanti kakak bahaya.”
“Bahaya kenapa dik? kakak bermaksud baik dengan Pamanmu untuk bersilaturahmi.”
“Tapi Paman bukan orang yang sopan menyambut tamu.”
“Insya Alloh, kalau kita sopan Pamanmu akan sopan menerimanya. Begini saja kamu berikan alamat rumahmu, aku kesana sendiri. Kamu istirahat saja disini ya...gimana?” ideku.
“ Tapi...kak?. ”
“ Sudah..yakin sama kakak.”
Aku bersiap-siap mau berangkat mencari alamat rumah yang diberikan Afsah. Lebih cepat lebih baik dalam menyelesaikan masalah. Kayaknya aku perlu mobil Cindy untuk membuat silau Pamannya yang Matre itu. Agar aku tidak dipandang sebelah mata. Orang seperti dia dan Juragan bangkotan harus dilawan dengan kesombongan. Agar mereka mikir kalau didunia ini bukan hanya dia yang kaya.
Baru saja aku mau melangkah kearah pintu, pintu kamarku sudah ada yang mengetuk dari luar.
“Hai Rin, ada apa?” Rini menatapku tanpa senyuman khasnya, yaitu lesung pipit dipipi rona anggur afrika nya.
“Rom, ini kamu yang buat ‘kan?” Rini menyerahkan selembar kertas
“Buat apaan Rin?” Aku tak paham.
“Baca saja...”
Kubuka lipatannya dan kubaca, tulisan tangan.
“Teruntuk, Sasrini Sriwangsityati.” Oh, aku ingat pasti ini surat dari Leste yang aku buatkan waktu itu.
“Lho kok aku, inikan ada nama pengirimnya. Leste.”Jawabku pura-pura tidak tahu.
“Ya, tapi aku tahu ini kata-kata dari kamu. Sebab yang tahu nama lengkapku hanya kamu.”
“Ya, tapi Leste menanyakannya kepadaku.” Aku berbohong.
“Aku ingin bicara banyak, apa kamu ada waktu Rom?”
“Duh, maaf Rin, sekarang aku harus pergi ke desa Sumber air. Aku ada perlu. Nanti lain kali aku pasti ada waktu untukmu,oke.” Aku tersenyum.
“Oke. Aku tunggu.” Rini balas tersenyum pamungkasnya.
Tak mudah aku mencari alamat rumah Afsah. Aku harus bertanya beberapakali untuk sampai kealamat yang diberikan Afsah. Walau akhirnya ketemu juga. Sudut desa yang terpencil. Ternyata melewati desa Tegal Rumput tempat shoting. Aku membawa BMW Cindy yang kuambilnya dari sekolahnya. Aku bilang pada Cindy ada keperluan mendesak nanti aku ceritakan. Aku sengaja naik angkot dari tempat kos kesekolah Cindy.
“Assalamualaikum...” Sambil kumengetuk pintu rumah sederhana yang cat temboknya sudah mulai usang.
“Waalaikum salam.” Suara dari dalam.
“Cari siapa ya...?” Tanya seorang perempuan setelah membuka pintu dengan raut wajah yang sendu seperti habis menangis. Masih cukup muda. Perkiraanku usianya masih tigapuluhan. Seangkatan Mbak Meisya.
“Apa benar ini rumah Ibunya Afsah Mbak?”
“Betul, saya Ibunya.”
“Oh, maaf. Tidak apa-apa kalau saya panggil Mbak... ?”
“Terserah Den bagus saja. Silahkan masuk...”
“Mbak ‘kan masih muda, belum pantas dipanggil Ibu.” Kataku sambil melangkah masuk. Memang kalau dikampung masih ada tradisi menikah diusia muda. Mungkin salah satunya Ibunya Afsah.
“Bisa saja Den.”
“Betul Mbak, Mbak seperti kakaknya Afsah.”
“Wualah, wualah... ngelantur Den ini. Maklumlah kalau di kampung kecil-kecil sudah disuruh jadi manten. Mbak, termasuk sudah ketuaan menikah diusia 17tahun. Kebanyakan kalau disini, umur 14,15 sudah ada yang melamar. Dan kalau menolak pamali kata orang tua. Nanti bisa jadi perawan tua.”Tampa kuminta Ibu Afsah memberikan masukan yang sangat penting.
“Silahkan duduk, maklum didesa, serba kotor. Mbak ambil minum sebentar.”
“Jangan repot Mbak...”
“Ngga cuma air putih”
Ibu afsah membawa segelas air putih, kemudian meletakkannya diatas meja.
“Silahkan diminum Den bagus, maklumin didesa ya begini keadaanya.” Aku dipanggil Den bagus, geli juga mendengarnya.
“Tidak usah panggil Den baguslah, Mbak...! Panggil nama saja. Namaku Romanza.”
“Alah, Den ini memang cakep anak orang kaya. Panteslah dipanggil Den bagus.” Walaupun terlihat sedang sedih tetapi Ibu Afsah tetap ramah.
“Terserah Mbak deh... Aku kesini bermaksud silaturahmi dengan Mbak sekaligus menyampaikan salam dari putri Mbak, Siti Afsari Maimun.”
“Oh, Den bagus bertemu anak saya?” seketika mata Ibu Afsah berbinar mendengar nama anaknya.
“Dimana dia sekarang? Dan bagaimana keadaan anak saya?”
“Sabar Mbak, Afsah tidak apa-apa, dia ada dirumah teman saya. Afsah sangat khawatir dengan Mbak. Memang sebelumnya saya menemukan Afsah dalam keadaan putus asa, Afsah ingin bunuh diri dengan berjalan ditengah jalan raya agar ada mobil yang mau menabraknya. Tapi Mbak jangan khawatir, sekarang Afsah baik-baik saja.”
“Ooh, anakku maafkan Ibu nak, Ibu tidak bisa melindungimu. Seandainya Bapakmu masih ada pasti tidak akan seperti ini nak...” Bu Afsah sangat terluka. Raut wajahnya miris pilu. Aku sangat merasakan kasih tulus seorang Ibu. Aku merasakan seperti Ibuku yang selalu mengkhawatirkan diriku.
“Mbak... Aku turut prihatin dengan apa yang menimpa keluarga Mbak. Apa Mbak tidak mencoba untuk minta bantuan Pak RT atau Pak RW?”
“Percuma! Mereka tidak berani dengan Juragan Tasmuno orang terkaya didesa sini.”
“Bagaimana kalau Mbak lapor Polisi saja, nanti aku bantu menemani Mbak kekantor Polisi.” Kucoba memberikan solusi yang ada dipikiranku.
“Kantor Polisi jauh dari sini Den, lagipula orang susah, percuma melawan orang yang banyak uang.”
“Mbak jangan menyerah begitu saja...”
“Mbak sudah pasrah, Den. Seminggu lagi Mbak akan menikah dengan Juragan Tasmuno sebagai istri ketujuh. Terpaksa saya terima lamaran Juragan sebagai ganti anak saya yang saya suruh kabur.” Bu Afsari menghentikan pembicaraannya. Matanya menerawang keluar pintu yang terbuka. Angin pegunungan menyusup kedalam ruangan. Walaupun hari sudah setengahnya, tapi hawa udara tidak sepanas seperti dikota Jogya.
“Kenapa Mbak lakukan itu? Kenapa Mbak mau menyiksa diri?”
“Ini saya lakukan demi masa depan Afsah. Kalau saya tidak mau jadi istrinya, kaki tangan Juragan yang masih Pamannya Afsah akan terus mencarinya. Biarlah Mbak yang sudah merasakan masa depan yang sudah lewat yang akan menggantikannya. Saya sudah pasrah Den. Mbak tidak punya kekuatan untuk melawan selain menerima nasib.”
“Tapi batin Mbak tertekan...?”
“Apalah arti semua, toh Mbak sudah terlalu biasa dalam hidup susah. Saya selalu berharap agar kehidupan Afsah akan lebih baik tidak seperti Mbak. Kalau boleh, saya titip Afsah, saya dapat merasakan dan percaya kalau Aden ini orang baik.”
“Mbak, aku bukan sok mau jadi pahlawan! Tapi orang seperti dia harus dilawan, agar tidak ada lagi perempuan-perempuan yang menjadi korbannya. Aku siap membantu Mbak.” Aku memberi semangat, membangkitkan perjuangan. Kenapa orang susah selalu tertindas...?
“Sudahlah Den, saya tidak mau menyusahkan orang lain. Terutama Afsah, semoga hidupnya akan bahagia. Sampaikan salam Mbak untuk Afsah, Mbak baik-baik saja.”
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ibu Afsah sudah pasrah menerima nasibnya. Sudah keputusannya menjadi gundik ketujuh Juragan Bangkotan. Kukembali kekota Jogya dan akan mengabarkan semua ini kepada Afsah. Kukembalikan kepada yang diAtas. Semua sudah ada jalannya masing-masing. Sudah menjadi kehendaknya kalau Ibunya Afsah harus menikah dengan Juragan tembakau. Aku hanya ingin membantu jalan keluar yang kuanggap benar, membantu Afsah yang sedang kesusahan. Tapi inilah hasilnya.
Ditempat kos Cindy sudah menunggu. Pulang sekolah Cindy bareng bersama Gita.
“Lho kok ada disini?” Tanyaku kepada Cindy yang sedang berada diruang tamu dengan Gita dan Afsah.
“Mang ada larangan disini?” Jawab Cindy sambil menatapku dengan senyum. Itulah kelebihan Cindy, cerah, periang dan senyumnya yang super manis.
“Ada, larangan untuk orang jelek!” Candaku sambil tertawa.
“Kak gimana Ibunya Afsah?” Cindy bertanya lagi tentang Afsah. Mungkin dia sudah tahu ceritanya dari Gita.
“Ibunya Afsah mau kawin dengan Juragan Bangkotan...” Tegasku.
“HaahH... !“ Gita dan Cindy tercengang. Begitu juga dengan Afsah, terkejut dengan ucapanku.
“Kakak benar bicara begitu?” Afsah belum percaya.
Aku mengangguk pelan. Kemudian aku henyakkan pantatku kemebel disebelah Cindy.
“Sebagai gantinya Afsah, Ibunya rela dijadikan gundik. Aku sudah menawarkan untuk lapor Polisi, tapi Ibu Afsah sudah pasrah demi kebahagiaan Afsah.”
“Tidak! Aku tidak rela Ibu jadi Gundik Juragan edan! Aku tidak bahagia kalau Ibuku sendiri tidak bahagia!” Afsah meradang emosi.
“Aku akan pulang, aku tak rela... Biarlah aku berkorban demi kebahagiaan Ibu.” Afsah mulai melemah, airmata meleleh dari sudut-sudut matanya. Aku bingung harus bagaimana? Anak dan Ibu sama-sama ingin berkorban untuk kebahagiaan orang yang disayanginya.
“Sudahlah, Afsah... Kamu disini saja, Aku siap jadi kakak angkatmu. Mudah-mudahan Ibumu bahagia, Bukan begitu Cin?” Aku mencari dukungan kepada Cindy.
“Iya Af, disini saja nanti biar aku bantu-bantu kamu.” Aku senang Cindy mendukungku.
“Bahagia bagaimana?! Situa bangkotan sangat jahat! Tamak dan rakus, lintah darat! Suka menjual wanita kekota. Ibu pasti sangat menderita. Pokoknya besok aku mau pulang...”
“Kamu tahu, kalau Juragan itu bisnis perdagangan wanita?” Tanyaku penasaran.
“Sudah bukan rahasia umum lagi dikampungku. Tapi semua pada tutup kuping dan mulut. Takut dengan anak buah Juragan bangkotan. Bahkan kalau dia sudah bosan dengan isterinya, tidak segan-segan dia menjualnya ketempat pelacuran.”
“Afsah, Ibu kamu ingin melihatmu bahagia, Ibumu rela berkorban untukmu. Ibu kamu akan sangat menderita bila kamu jatuh kedalam cengkraman Juragan itu. Kita berdoa saja, mudah-mudahan Ibumu selalu dilindungi oleh Alloh.” Kataku untuk menenangkan hatinya. Gita hanya diam saja, mungkin merasakan iba atas kejadian yang dialami Afsah.
Afsah naik keatas diantar Gita untuk menenangkan hatinya dikamar Gita. Hanya aku dan Cindy saling diam. Aku berpikir apa yang harus aku lakukan untuk membebaskan Afsah dan Ibunya?
“Kok diam kak?” Tanya Cindy.
“Entahlah, aku sedang berpikir apa yang harus aku lakukan?”
“Kenapa kakak begitu peduli kepada Afsah sedang kakak baru mengenal dia.”
“Cin, Afsah sangat membutuhkan pertolongan. Sekarang dia ada diantara kita, masa kita tega membiarkan dia...?”
“Kak, yang namanya menolong, kalau kita mampu. Kalau kita tidak mampu, kita harus bagaimana? Lagipula kakak sudah berbuat sesuatu untuk keluarga Afsah, tapi mereka lebih memilih nasib mereka.”
“Cin, sayangku... mereka bukan memilih nasib mereka. Itu mereka lakukan karena mereka sangat bingung untuk keluar dari cengkraman siBandot itu. Ibunya Afsah ingin menolong anaknya. Jalan satu-satunya yang lebih mudah bagi Ibunya Afsah adalah Rela menjadi Istri ketujuh. Yang menjadi masalah kedua, Afsah sendiri tidak rela Ibunya menjadi korban Bandot itu.”
“Terus rencana kakak gimana?”
“O,ya Cin. Aku ingat Mbak Meysa, dia’kan pengacara mungkin punya kenalan Intel. Kita harus minta bantuan dia.”
“Terserah kakak...”
“Lho kok gitu Cin? Kamu tidak mau membantu kakak?”
“Kakak terlalu sibuk mengurusi orang lain, sedangkan denganku kakak tidak peduli!”
“Cin, maafkan kakak, kalau selama ini kakak belum bisa seperti apa yang kamu inginkan.” Aku berusaha untuk memahami anak manja yang kurang perhatian dari orang tuanya. Cindy masih terlalu muda untuk mengerti arti kata Peduli.
“Maafkan Cindy juga kak, Cindy siap membantu kakak.”
“Begitu dong! Ini baru namanya Bidadari yang baik hati.” Aku tersenyum. Cindy tersenyum menatapku dengan binar yang cerah. Lalu, kutarik hidungnya.
“Aduuh, Sakit kak!...’
“Eh, eh, maaf sengaja...” Kataku semakin membuatnya tambah sewot. Tangannya memukul dadaku. Tapi tak kubiarkan. Kutangkap kedua tangannya. Cindy meronta. Tapi semakin kuat kumencekal kedua lengannya. Hingga dia lelah dan diam. Kuresapi raut wajah indonya. Cantik dan menggemaskan. Cindy tertunduk. Aku hanya mengecup bibirnya lembut, sebagai ungkapan betapa aku sangat menyayanginya. Mungkin benar ungkapan pujangga. Cinta tumbuh karena sering dalam kebersamaan.
“Kak, ngebakso dibang Dul yuk! Setelah itu, kakak kerumahku. Papa sama Mama lagi ada dirumah. Kakak belum kenal dengan Papa’kan.. Papa orangnya demokratis lho... Tidak seseram yang kakak bayangkan?”
“Emangnya, kakak pernah bilang kalau Papamu itu seraam?”
“Biasanya, kalau pertamakali cowok main kerumah ceweknya untuk ketemu Bapaknya sicewek, terus cowoknya tanya, Bapakmu galak tidak?”
“Tapi aku nggak’kan?”
“ya, iya...” Cindy cemberut lagi.
Waktu terus melaju, langkah terus kupacu. Jiwa beranjak dengan cinta. Hari semakin menguntai mesra. Cindy begitu menyenangkan, menghibur disaat luka memonitor ingatanku. Ingatan tentang kota Jakarta, dimana Ayahku tak pernah mengingatku lagi. Baginya aku adalah anak malapetaka. Beruntung ada Azkya, yang selalu menguatkanku untuk bersabar. Sedangkan Virelly aku tak pernah tahu kabarnya. Pernah suatu kali Rasty menelponku, meminta bantuanku untuk menemui Virelly. Tapi aku jawab sedang sibuk, tidak bisa meninggalkan kuliahku yang baru saja dimulai. Setelah itu Rasty tidak pernah menghubungiku lagi.
bersambung.....

Tidak ada komentar:
Posting Komentar